Di pagi yang indah ini, aku terbangun tanpa ada sedikit pun rasa
semangat, seakan hidupku telah berakhir. Langkah kakiku gontai dalam menapaki
jalan kehidupan ini. Aku menatap langit yang masih gelap dari balik jendela
kamar, bermunajat kepada Sang Maha Kuasa, masih berharap akan keajaiban
dari-Nya. Ataukah, ini sudah takdir yang diberikan oleh-Nya? Batinku menggema,
diiringi oleh aliran air mata yang mulai membasahi pipiku.
Aku mengambil nafas panjang, kemudian beranjak untuk menggapai sebuah
buku yang tergeletak di atas meja. Aku duduk di sebuah kursi dengan rasa sendu
yang menghantui dan mulai membuka lembaran demi lembaran dari buku yang berada
di atas meja tersebut. Hingga tanganku berhenti pada sebuah lembaran di mana
terdapat tulisan tangan yang tak terselesaikan.
Dear Diary.
Tanggal 15 Januari 2015 adalah besok. Hari di mana sebuah janji pernikahan telah disepakati. Dan pernikahan itu adalah pernikahanku, dengan seseorang yang bahkan belum ku kenal sebelumnya. Pernikahan yang bukan berdasarkan cinta dariku pribadi, melainkan berdasarkan janji papaku dengan rekan bisnis sekaligus sahabatnya sewaktu muda. Dan rencana pernikahan inipun baru aku ketahui di malam hari setelah penerimaan ijazah dan perayaan kelulusan SMA di sekolahku. Jelas awalnya aku menolak rencana pernikahan ini. Bagaimana bisa aku menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai, bahkan tidak aku kenal, sementara ada orang lain yang telah mengisi ruang hatiku?Dia adalah Ryan. Sosok lelaki gagah yang aku kenal semenjak masa awal SMP dan selalu menjagaku sebagai seorang sahabat baik. Dia bagaikan malaikat penjaga bagiku, selalu ada saat aku membutuhkannya, sebagai teman mengobrol, tempat curhat, dan tempat bagiku mengadukan keluh-kesah. Sekaligus, dialah seseorang yang aku cintai dan sangat aku harapkan perasaan cinta itu juga tumbuh di hatinya. Namun, hingga kini, ungkapan cinta yang aku nanti untuk diungkapkan olehnya padaku, tidak kunjung terucap olehnya. Ataukah memang tidak ada perasaan cinta itu di hatinya? Apakah aku yang terlalu berharap lebih padanya? Mungkinkah aku ini hanya bagaikan seorang adik baginya, yang harus ia jaga dan lindungi?Ketika SMA dahulu, aku pernah dengan iseng menanyakan seseorang yang ia cintai. Saat itu aku berharap dapat mengetahui perasaannya padaku. Dan aku masih ingat obrolan kami saat itu.“Yan, kamu sudah punya pacar belum sih? Kok kayaknya masih jomblo aja.” Ucapku saat itu, ketika kami membeli bakso setelah pulang sekolah.“Yee. Lu sendiri aja masih jomblo pakai nyindir orang lain.”“Hehe.” Aku membalasnya dengan menyengir. “Habis gak ada cowok yang nembak sih.” Ucapku berbohong saat itu. Sebenarnya sudah ada dua cowok yang menembakku sebelum itu. Tetapi aku berbohong untuk mencoba memancing Ryan agar ia mau mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.“Sebenarnya sudah ada cewek yang aku suka sih.” Itulah sebuah kalimat darinya yang membuatku penasaran hingga sekarang. “Cuma gak mau pacaran dulu aja sih. Nanti kalau sudah waktunya, bakalan langsung gua lamar kok.” Lanjutnya ketika itu, seraya tersenyum manis ke arahku. Senyuman termanis yang pernah aku lihat darinya, yang membuatku mabuk kepayang dan aku kenang hingga sekarang.Dan saat itupun, aku tidak ingin membuang kesempatan emas untuk bertanya siapa perempuan yang ia suka itu. Tetapi hanya satu kata jawaban darinya yang membuatku terus penasaran dan bertanya dalam diri, “RAHASIA.”Siapa? Siapakah sosok perempuan yang ia rahasiakan itu. Apakah mungkin itu aku? Dari jawabannya dengan tersenyum manis padaku saat itu… mungkinkah?Tetapi tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu, bahkan hingga sekarang. Hingga pada akhirnya, penantian akan jawaban itu sia-sia. Berakhir sudah. Papaku lah yang pada akhirnya mengungkapkan sesuatu di luar nalarku, bahwa papa telah menunangkanku pada anak dari seorang rekan bisnis sekaligus sahabatnya.Aku telah berdebat panjang dengan papa, tetapi semua sia-sia. Akhirnya, aku memutuskan untuk menjauhi Ryan setelah mengetahui tentang kenyataan pertunanganku ini dan tak bisa mengelaknya. Bukan maksud untuk membencinya, hanya saja aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku takut bila kedekatanku dengan Ryan bisa merusak banyak hal. Jika memang ada rasa cinta di hatinya, aku takut kabar pertunangan ini akan menghancurkan hatinya dan membuatnya membenciku. Namun bila tidak ada rasa itu di hatinya, aku takut akan membuatku menyesali perasaan yang tumbuh ini dan membuat pertunangan ini menjadi rusak atau mungkin lebih parah lagi, sekaligus pastinya akan mengecewakan dan memalukan kedua orangtuaku.Lebur sudah semua. Penantianku. Harap-cemasku. Dan… cintaku.Inilah malam terakhir bagiku sebelum akhirnya besok aku menjadi seorang istri dari seorang lelaki mapan. Tetapi, masih ada sesuatu yang mengganjal hatiku. Bagaimana dengan Ryan? Bahkan ia sama sekali tidak mengetahui kabar ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah sekarang aku harus menghubunginya dan mengabarkan padanya tentang pernikahanku ini? Tetapi kenapa baru sekarang? Tidakkah ini sudah terlalu terlambat. Dia pasti…
Huft. Aku mengambil nafas sejenak. Tulisan dalam binder itu terhenti.
Dan yang aku ingat terakhir kali di malam kemarin, pikiranku berkecamuk tidak
menentu dan rasa sedih maupun bingung menghantuiku semalaman. Hingga pada
akhirnya, kemarin malam aku memutuskan untuk pergi ke rumah nenek, di sini,
tempat di mana banyak kenanganku bersama Ryan. Dahulu, semasa sekolah, Ryan
seringkali berkunjung ke rumah ini. Rumah Ryan memang tidak jauh dari rumah
nenek ini. Dan setiap aku berkunjung kemari, saat itulah Ryan juga selalu
datang. Oleh karenanya, rumah ini merupakan rumah idaman yang paling aku suka
untuk dikunjungi.
Aku mengambil nafas kembali, kemudian kembali melepaskannya. Kali ini
diiringi dengan percikan air mata yang menetesi kertas binder tersebut. Dengan
wajah tertunduk lesu, aku melanjutkan bait-bait kisah itu di halaman
berikutnya.
Hari ini, 15 Januari 2015, merupakan hari akan berlangsungnya pernikahanku. Tetapi, di pagi yang cerah menjelang pernikahan ini, bukannya aku bersiap menghadapi momen bersejarah ini dengan sibuk berias diri, malahan aku kabur ke sini, ke rumah nenekku. Tetapi bukan berarti ini adalah tempat pelarian untuk menghindari pernikahanku itu. Hanya saja, aku merasa ada sesuatu yang harus ku lakukan terakhir kali di tempat ini sebelum pernikahan itu berlangsung. Entahlah apa itu. Hanya firasat. Kenangan. Ya mungkin, aku hanya ingin mengenang kisah cintaku di sini, untuk terakhir kalinya.Aku kabur ke sini bukan tanpa meminta izin pada siapapun. Kemarin malam, ketika pikiranku berkecamuk di dalam kamar, Vina masuk ke dalam kamarku. Dia adalah sepupuku, sekaligus sahabat terbaik dalam hidupku. Umur kami sebaya, sehingga aku dan dia benar-benar bisa cocok satu sama lain, kami saling bercerita tentang berbagai kisah perjalanan hidup kami, termasuk diantaranya adalah urusan cinta. Ya, dia adalah satu-satu orang yang mengetahui perasaanku yang sebenarnya kepada Ryan. Dan dia juga yang banyak mendukung dalam mempertahankan perasaanku ini pada Ryan. Hingga ia mengetahui tentang pernikahan inipun, dialah orang yang paling memberiku semangat dan menghiburku.Kemarin malam, Vina berusaha menghiburku yang ketika itu mungkin wajahku terlihat sekali sedang berada dalam keadaan sedih. Sepertinya dia benar-benar memahami apa yang ku rasakan. Aku bercerita banyak hal padanya kemarin malam, diiringi pula dengan isak tangisku. Mungkin lebih dari satu jam aku bercerita padanya. Hingga pada akhirnya aku memutuskan (dia pun menyetujui dan mendukungku) untuk pergi ke rumah nenek dahulu selama semalam. Kata Vina, mungkin dengan keberadaan di rumah nenek, dapat menenang kegelisahanku, sekaligus untuk memutar kembali kenangan-kenangan indahku bersama Ryan. Aku pun akhirnya berangkat ke rumah secara diam-diam tanpa diketahui oleh kedua orangtuaku. Namun sebelumnya, aku sudah meminta Vina untuk memberitahukan kepada kedua orangtuaku setelah keberangkatanku, bahwa aku ke rumah nenek untuk mengambil sesuatu yang ketinggalan dan akan kembali besok paginya.Dan sekarang, di pagi menjelang perhelatan pernikahan itu, di sinilah aku, bersama kenangan-kenanganku.Aku ingat saat pertama kali aku bertemu dengan Ryan, ketika itu aku masih duduk di bangku SMP dan sedang berkunjung ke rumah nenek yang masih satu kota dengan rumahku sekeluarga. Aku mengenalnya ketika aku bersama Vina sedang sedang duduk-duduk santai di pinggir sebuah lapangan sepak bola. Saat kami duduk-duduk, sebuah bola sepak melesat ke arah kami. Untungnya, bola itu tidak mengenai salah seorang dari kami. Dan saat itulah Ryan datang hendak mengambil bola dan meminta maaf dengan sangat kepada kami. Kalau aku mengingat ekspresi bersalahnya saat meminta maaf ketika itu, sungguh lucu wajahnya. Dia terlihat seperti lelaki lugu dan benar-benar pemalu menghadapi kami berdua.Selanjutnya, ketika kami bertiga (aku, Ryan, dan Vina) sudah lebih kenal dan akrab, Ryan menjadi sering bermain ke rumah nenekku. Memang, ketika SMP dahulu, aku dan Ryan berada pada sekolah yang berbeda, tetapi kami selalu bertemu ketika aku berkunjung ke rumah nenek. Setiap aku berkunjung ke rumah nenek, Ryan juga selalu datang untuk bermain, seakan di tahu akan kehadiranku. Dan di masa SMP inilah, benih-benih cinta itu mulai muncul.Kemudian, memasuki dunia SMA, aku satu sekolah dengan Ryan. Ini bukanlah sebuah kebetulan. Mungkin bisa dibilang, akulah yang mengejarnya. Sebelumnya memasuki SMA, aku dan Ryan pernah bercerita tentang bagaimana dengan SMA kami kelak. Dan saat itu, aku menanyakan tentang SMA yang ingin ia tuju. Setelah ia menjawab dan berbalik tanya, aku sengaja menjawab bahwa ternyata SMA yang aku incar kebetulan sama dengannya. Padahal sebelumnya aku sama sekali tidak ada pandangan ingin masuk ke SMA mana. Dan setelah momen itu, ketika aku pulang ke rumah, aku meminta manja kepada papi agar didaftarkan ke SMA tersebut. Kemudian kamipun lebih sering bertemu, bahkan mungkin setiap hari. Haha. Dasar akal bulusku.
Tanganku berhenti menulis untuk sesaat, aku tersenyum kecut membaca
tulisan terakhirku itu, kemudian kembali melanjutkan.
Namun, semua kenyataan yang terjadi ini tidaklah sesuai dengan apa yang aku harapkan. Kisah cinta aku yang kejar dan coba ku gapai itu kini terkubur sudah. Terkubur oleh kisah cinta lain yang akan terjadi. Apakah hanya aku yang terlalu berharap lebih padanya? Mengejar cinta fana yang pada akhir menjadi sia-sia, tidak mendapat respon darinya. Mungkinkah…
Tulisanku terhenti, tiba-tiba aku mendengar sebuah percakapan yang
berasal dari pintu depan rumah. ‘Siapakah yang datang di pagi ini, dengan
kondisi rumah yang sepi seperti sekarang ini?’ Batinku bertanya pada diriku
sendiri. Dan samar-samar, sepertinya aku tidak asing dengan suaranya. Kemudian
aku segera bangkit dan meninggalkan kamarku, untuk mengintip tamu misterius
itu.
Tamu itu dipersilakan masuk oleh nenek, aku mengintip dari balik tirai
untuk melihat sosok tamu tersebut. Dan betapa terkejutnya aku. Bukankah itu
Ryan? Ada apa ia ke sini? Seakan-akan ia benar-benar mengetahui akan hadirku.
Setiap aku berkunjung kemari, Ryan selalu hadir.
Nenek menghampiriku yang bersembunyi di balik tirai. Kemudian, nenek
langsung mengatakan maksud kedatangan Ryan dan menyuruhku untuk menemuinya.
Betapa terkejutnya, ternyata Ryan datang kemari untuk menjemput dan
mengantarkanku menuju pernikahanku. Dan yang lebih mengejutkan lagi, itu adalah
permintaan dari Vina!
Mau tidak mau, aku menghampiri Ryan. Untuk pertama kalinya, aku
gelagapan menghadapinya. Aku hanya bisa menundukkan pandanganku, tidak tahu
harus berbuat apa dan berkata apa. Aku hanya bisa terdiam kaku, bahkan setiap
pertanyaan yang dilontarkan oleh Ryan, hanya bisa ku jawab singkat dan
seadanya.
Entahlah, berapa lama suasana kaku antara aku dan Ryan berselang. Aku
tidak bisa mengucapkan sepatah katapun, antara perasaan sedih, bingung, dan
senang. Sedih, karena pernikahan yang seharusnya menjadi momen bahagia, tidak
bisa aku rasakan. Karena orang yang akan ku nikahi bukanlah orang yang ku
cintai. Bahkan orang yang aku cintai berada di hadapanku untuk mengantarkanku
menuju pernikahan itu. Bukankah itu berarti bahwa orang yang aku cintai
merelakan pernikahan ini dan turut bahagia? Yang artinya, perasaan cinta ini
ternyata hanya bertepuk sebelah tangan. Bingung, karena aku tak tahu harus
berkata apa. Aku tak tahu apa penyebab semua konflik rumit ini. Apakah karena
dia yang tidak mencintaiku atau tidak mau mengucapkan kata cintanya padaku.
Ataukah hanya karena aku yang terlalu buta akan perasaan yang mendalam ini
padanya. Senang, karena orang yang aku cintai yang telah lama tidak berjumpa,
akhirnya aku dapat melihat paras tampannya.
Pada akhirnya, mungkin karena Ryan telah lelah dengan tingkah kikukku, ia
langsung membicarakan maksud dan tujuan utamanya datang menemuiku. Kemudian
dengan segera ia mengajakku untuk kembali menuju ke tempat pernikahan. Aku
hanya mengangguk menyanggupinya, dengan wajah yang masih tertunduk sendu dan
bingung. Dan saat itulah hatiku benar-benar hancur, sekarang aku benar-benar yakin
bahwa cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Dengan hati yang hancur dan
kesedihan yang membakar semangat hidupku, aku secara terpaksa mengikuti
langkahnya.
Belum sampai dalam perjalanan, bahkan baru saja kami keluar dari dalam
rumah, tetesan air mata hujan telah membasahi wajah bumi ini. Seakan perasaanku
telah menyatu pada dunia. Ketika hatiku bimbang menatap langit, aku sedikit
terkejut ketika tiba-tiba Ryan sudah berada di hadapanku untuk menawarkan
padaku satu setel jas hujan. Dan aku hanya mengangguk setuju. Kemudian dia
memakaikan jas itu padaku. Hatiku berdegup kencang saat ia melakukan itu.
Tetapi sesegera mungkin aku menampik perasaan yang muncul tersebut. Mungkin
yang ia lakukan saat ini selayaknya apa yang dilakukan seorang kakak untuk melindungi
adiknya. Aku berusaha meyakinkan diri bahwa ia tidak mencintaiku, aku tidak
ingin perasaan yang muncul ini hanya akan mengganggu pernikahanku dan hidupku
nanti.
Di tengah perjalanan, perasaan bimbang kembali menghantuiku. Apakah aku
sudah benar-benar menerima akan pernikahan ini? Aku melihat wajah Ryan dari
belakang boncengan sepeda motor. Dia…
Sejumlah pikiran merasuk pada otakku. Apakah benar aku telah merelakan
pernikahanku ini? Dan akan mencoba untuk melupakan perasaan ini? Bisakah aku?
Benarkah? AH!! Rasanya aku ingin berteriak sekeras mungkin. Kenapa? Kenapa
perasaan ini bisa muncul pada diriku. Bodohnya aku.
Dengan pikiran yang terus menggalau itu, tiba-tiba aku dikejutkan dengan
pengereman mendadak yang dilakukan oleh Ryan. Dan dalam sekejap…
… Pikiranku melayang …
… Yang aku ingat hanya hujan …
… Bersama Ryan …
… …
0 comments:
Post a Comment
Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^