Friday, 16 January 2015 - , 4 comments

AIR MATA HUJAN (Boy part)


Firly namanya, gadis cantik berusia 20 tahun, sahabat baik yang telah ku kenal semenjak SMP. Dan tak dipungkiri, persahabatan dua insan berbeda jenis dapat menimbulkan perasaan lain di hati, perasaan yang lebih dari sekadar sahabat, yaitu Cinta. Entahlah, apakah perasaan yang sama juga muncul di hatinya selama menapaki jejak persahabatan kami ini. Ataukah hanya perasaan bertepuk sebelah tangan? Entahlah, bahkan sampai sekarang aku tak pernah tahu bagaimana perasaannya terhadapku, mungkin begitu pula sebaliknya, ia tidak pernah tahu bagaimana perasaanku sesungguhnya padanya. Perasaan ini, perasaan yang terus menggantung, hingga pada akhirnya, ia telah memilih pujaan hatinya. Meninggalkanku.
Setelah sekitar enam tahun bersama, menjalin persahabatan semenjak masa SMP, diiringi canda-tawa, keluh-kesah, saling berbagi kesedihan, dan hal-hal konyol yang tak terungkap, sampai pada akhirnya semuanya berakhir. Kamipun berpisah. Aku memutuskan untuk melanjutkan studi kuliah yang masih dalam satu kota dengan tempatku terlahir. Sedangkan dia? Menikah. Ya, dia memutuskan untuk menikah dengan seseorang yang bahkan tak aku kenal. Padahal aku adalah sahabat baiknya semenjak SMP, namun kenapa tiba-tiba ia memutuskan untuk menikah? Dengan seseorang yang ia rahasiakan dari sahabatnya sendiri, kenapa? Tidak bisakah ia berbicara dahulu kepadaku, untuk sekadar curhat pada sahabat baiknya, bertanya dan minta tanggapan tentang pria yang akan ia nikahi kepada sahabatnya ini. Walau aku tahu hati ini pasti akan terluka ketika mendengar curhatnya, tetapi setidaknya tidak terkejut dan lebih terluka seperti sekarang ini. Dan bahkan aku mendengar kabar tentang pernikahannya ini tidak langsung darinya, melainkan dari sepupunya, Vina.
15 Januari 2015, tanggal pernikahan Firly seperti yang tertera pada surat undangan yang diberikan oleh Vina. Dan itu adalah hari ini. Tetapi mungkin aku takkan datang pada akad nikah tersebut. Bagaimana mungkin? Hati ini telah teriris, sungguh sakit rasanya, aku yang tidak tahu apa-apa, dia yang tanpa sebab-musabab menjauh dariku semenjak perayaan kelulusan SMA. Kemudian tiba-tiba setelah penantian panjang akan hadirnya, dengan lugunya aku menerima sebuah surat yang meluncur bersama Vina, sebuah surat yang tidak hanya melukai hati, melainkan pula menghancur-leburkan hati. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa hadir di perayaan bahagianya dengan hati yang telah hancur-lebur?
Tetapi, dia adalah sahabatku, aku tidak bisa mengecewakannya. Semuanya sudah berakhir, dia telah memutuskannya. Dan mungkin ini juga karena kebodohanku yang tak pernah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Atau mungkin kebodohanku yang terlalu berharap lebih, sementara di hatinya aku tidak lebih dari seorang sahabat tanpa ada perasaan lain. Bagaimanapun, aku tidak bisa mengecewakannya dengan terus berlari menjauh darinya di saat ia telah menemukan kebahagiaannya. Setidaknya aku harus datang untuk sekadar mengucapkan selamat kepadanya. Tetapi mungkin, belum untuk hari ini, aku masih belum siap untuk melihat kenyataan akan akad nikahnya. Mungkin aku akan datang di hari lain, saat resepsi pernikahannya nanti. Aku masih bisa memberikan alasan sibuk padanya, walau sebenarnya masih berusaha menenangkan hati dan mencoba untuk menerima semua kenyataan.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat nama kontak yang tertera di layar. Vina! Ada apa?!? Aku segera mengangkatnya.
Setelah Vina sedikit melakukan basa-basi pembukaan, ia kemudian berkata, “Mas, apakah aku bisa minta bantuan?”
“Ya.” Jawabku pelan.
“Semenjak kemarin Mbak Firly berada di rumah simbah. Padahal sebentar lagi akad nikah. Bisa minta tolong antarkan mbak Firly ke rumahnya sini sekarang?”
Simbah
. Jelas aku tahu di mana rumah simbah. Satu-satunya nenek dari keluarga Firly dan Vina yang masih hidup. Dan rumahnya terletak tidak jauh dari rumahku. Dahulu ketika masih SMP, aku sering bermain dan menemui Firly di rumah tersebut. Tetapi kenapa sekarang Firly di sana? Dan kenapa Vina meminta pertolonganku? Tidak tahukah ia bagaimana terlukanya hatiku ini? Aku termenung sejenak memikirkannya. Apa yang harus aku lakukan? Dia adalah sahabatku dan orang yang aku cintai, tetapi hati ini…
Akhirnya aku mengiyakan permintaan dari Vina. Setelah panggilan itu tertutup, berjuta pertanyaan dan kegelisahan menimpa otakku. Untuk beberapa menit, aku mondar-mandir di dalam rumah tanpa tentu arah dan tanpa tujuan. Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk berangkat menyusulnya, walau dalam hati perasaan bimbang masih menghantuiku selama perjalanan.
 Di depan pintu rumah nenek Firly, aku terpaku untuk beberapa saat. Bimbang dan gelisah. Sejuta keraguan menahan tanganku untuk memberikan sebuah ketukan pintu. Aku berbalik dari pintu itu dan menatap jalanan yang membentang. Cuaca mendung menyelimuti daerah ini, seakan langit tahu betapa mendungnya hatiku sekarang ini. Aku kembali berbalik menghadap pintu, mengambil nafas panjang untuk mengumpulkan keberanian untuk menghadapi kenyataan ini. Tetapi, sebelum sempat mengetuk, pintu rumah itu perlahan terbuka, nenek Firly tampak keluar menyambut akan kehadiranku. “Nak Ryan?” ucap nenek dengan suara serak.
“I, iya,” Ucapku bimbang. Kemudian aku berusaha untuk melanjutkan ucapanku. Namun, sebelum perkataanku selanjutnya hendak keluar, nenek segera bertanya dengan raut wajah bingung.
“Kenapa Firly datang ke sini ya, cu? Tadi pagi-pagi sekali nenek kaget melihat Firly tiba-tiba datang dengan wajah sendu. Ada apa ya, cu?”
Kenapa Firly datang ke sini dengan tampak sedih?’ Aku berkata sendiri dengan bingung. Ada apa sebenarnya? Namun, tanpa basa-basi dan terdiam bimbang lebih lama lagi, aku segera mengutarakan maksud kedatanganku, “Kurang tau, mbah. Tetapi saya ke sini diminta dek Vina untuk menjemput Firly ke pernikahannya. Simbah juga mau ikut.”
“Tidak usah, cu. Simbah sudah tidak kuat diajak bepergian. Biar simbah nunggu rumah saja, dan di sini berdo’a untuk kelancaran pernikahan serta kebahagiaan Firly.”
“Amin, mbah” Jawabku ragu, tak sepenuh hati. Dan disaat jawabanku itu pula, aku melihat sosok Firly di balik tirai di dalam rumah.
Sepertinya Firly tampak terkejut dan tak menyangka akan kedatanganku.
“Silahkan masuk dulu cu. Mbah panggilkan Firly di dalam.”
Aku segera masuk ke dalam rumah tersebut dan duduk di sofa terdekat dari pintu. Nenek Firly kemudian masuk ke ruangan di balik tirai. Dari balik tirai, aku melihat sepertinya nenek menjumpai Firly yang mungkin semenjak tadi sudah berdiri di balik tirai tersebut. Terdengar samar percakapan antara Firly dan neneknya. Kemudian dalam beberapa saat, Firly keluar untuk menemuiku dengan wajah tertunduk.
Firly duduk di sofa di depanku. Bingung, aku tak tahu harus berkata apa dan mulai dari mana. Dengan ragu, aku berkata, “Vina memintaku untuk ke sini,” ucapanku berhenti sesaat, ragu untuk mengucapkannya,  “untuk menjemputmu,” aku menelan dahak, seakan tak sanggup melanjutkan, “ke pernikahan.”

Dari paras wajahnya, aku dapat melihat bahwa ia terkejut dengan alasan kehadiranku. Sepertinya ia baru mengetahui bahwa aku datang atas permintaan Vina. Dan setelah sepatah kalimat itu ku ucapkan, suasana menjadi hening untuk beberapa saat. Tidak tampak ada tanda-tanda bahwa Firly akan membalas kalimatku. Suasana saat ini seakan membeku. Entahlah, apa yang terjadi padanya. Aku tidak mengerti dan aku pun benar-benar bingung harus berbuat. Seakan waktu telah terhenti untuk beberapa saat. Aku mencoba berpikir cepat, berusaha untuk menghentikan waktu yang membeku ini. Pada akhirnya aku mencoba untuk memulai pembicaraan dengan menanyakan bagaimana kabarnya, apakah ia sakit sehingga berada di sini, dan berbagai pertanyaan basa-basi lainnya yang seharusnya tidak penting untuk ditanyakan. Namun, hanya sepatah dua patah yang keluar dari mulut Firly untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Kaku. Itulah suasana yang aku rasakan sekarang. Padahal kami ini sahabat baik, sudah semenjak SMP dahulu, tetapi kenapa obrolan ini seperti dua orang yang baru berkenalan?
Hingga pada akhirnya, aku tak tahan dengan pembicaraan kaku ini. Tanpa basa-basi lebih jauh lagi, aku pun mengajaknya untuk mengantarkan ke singgasana pernikahannya. Dan dia hanya mengangguk dengan wajah tertunduk dalam menanggapinya. Aku segera menemui nenek dan meminta izin pada beliau untuk mengantarkan Firly. Kemudian kami segera menuju tempat di mana sepedaku terparkir. Tetapi, saat kami baru mulai menginjakkan kaki ke tanah, tetesan air dari langit mulai perlahan membasahi bumi. ‘Gerimis!’ batinku. Apakah ini pertanda buruk? Ataukah langit benar-benar tahu betapa sedihnya hati ini.
Aku segera menyingkirkan ucapan batin yang berkecamuk dan bergegas mengambil dua setel jas hujan yang sudah ku persiapkan sebelumnya di jok sepeda motor. Aku mengenakan salah satu jas hujanku. Kemudian mengambil yang lain untuk mengenakannya pada Firly, berharap kecantikannya menghadap singgsana pernikahan tidak luntur, atau mungkin berharap sebaliknya, hujan akan membatalkan pernikahan ini.
Sepeda motorku pun melaju. Sepanjang perjalanan, berbagai macam pikiran menyerbu otakku. Kenapa aku mau-maunya menjemput Firly untuk mengantarkannya pada singgasana pernikahan? Ini sama saja dengan menikam hatiku dengan tangan sendiri.
Perjalanan kami inipun terkesan sangat kaku, hanya terasa suasana hiruk-pikuk jalan raya disertai rintik hujan. Dia hanya diam tanpa kata. Dan akupun diam, tak tahu harus berkata apa lagi. Apakah ada sesuatu yang salah yang aku lakukan padanya? Aku tak mengerti. Padahal aku sudah mengorbankan semua perasaan dan emosi meluap yang tak percaya akan pernikahannya ini demi mengantarnya pada singgasana kebahagiaan. Tunggu, kebahagiaan? Apakah pernikahan ini benar-benar darinya, ataukah...
Aku terdiam sejenak. Kemudian aku melihat ke spion sepedaku dan mengarahkan spion tersebut agar aku dapat melihat wajah seseorang yang ku bonceng. Bahagiakah ia? Tetapi wajah itu tidaklah menunjukkan wajah orang yang sedang berbahagia. Dan bahkan…
Deg!
Degupku terhentak. Firly mengeratkan pelukan tangannya di sekeliling pinggangku dan aku juga dapat melihat wajahnya yang mulai terbasahi oleh tetesan air di balik helmnya. Jelas, bukan air hujan yang membasahi wajah cantiknya. Wajahnya sendu. Ada apa sebenarnya? Apakah ada sesuatu di balik pernikahan ini? Dan… tunggu… jangan-jangan dia ke rumah nenek adalah untuk kabur dari pernikahannya. Apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Pikiranku kalut. Berbagai macam pikiran menyerbu otakku.
Belum sampai rasa heran, bingung, dan terkejut ini sirna dalam pikiranku, tiba-tiba sebuah keterkejutan lain merenggut benakku. Sebuah truk besar di depanku berhenti mendadak. Aku terkejut bukan main, sesegera mungkin aku menginjak rem sepeda dan berusaha mengalihkan arah lajuku dari truk tersebut. Namun nahas, jalan yang licin membuat keseimbanganku menghilang dan seketika sepedaku tergelincir. Aku masih berusaha segenap tenaga mengendalikan sepedaku yang melesat tanpa arah dan hamper terjatuh, namun kesialan tidak berhenti sampai di situ. Sebuah mobil yang melaju kencang menghantam kami yang telah kehilangan arah. Aku terlempar dari sepeda motor dan bersalto di udara. Pandangan mataku menyebar ke segala penjuru tanpa tentu arah. Aku berusaha memusatkan pandangan mataku untuk mencari sosok yang ku bonceng sebelumnya. Namun sia-sia, tubuh yang terpelanting membuatku tak bisa mengendalikannya. Setelah beberapa meter tubuhku menerima guncangan hebat, aku terkapar di atas tanah Rasa sakit menjalar di sekujur tubuhku. Aku dapat merasakan beberapa bagian tubuhku mengalirkan darah keluar dan membasahi tubuhku. Tetapi aku tak peduli dengan itu, aku berusaha mengedarkan pandangan untuk mencari sosok cantik yang ku cintai. Namun sia-sia, pandangan mataku mengabur dan yang dapat terakhir kali ku lihat hanyalah tetesan hujan yang menyerang tubuhku.

4 Blogger-Comments
Tweets
FB-Comments

4 comments:

  1. Nunggu Endingnya nih , Air Mata Hujan ( Boy and Girl End Part ) :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih sudah menanti, di sini part akhirnya :
      FINAL PART

      Delete
  2. sampeyan ini ternyata pelulis fiksi handal.... salut

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe, handal apanya mbah?
      masih amatiran, perlu banyak belajar. :)

      Delete

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^