Firly namanya, gadis cantik berusia 20 tahun, sahabat baik yang telah ku
kenal semenjak SMP. Dan tak dipungkiri, persahabatan dua insan berbeda jenis
dapat menimbulkan perasaan lain di hati, perasaan yang lebih dari sekadar
sahabat, yaitu Cinta. Entahlah, apakah perasaan yang sama juga muncul di
hatinya selama menapaki jejak persahabatan kami ini. Ataukah hanya perasaan
bertepuk sebelah tangan? Entahlah, bahkan sampai sekarang aku tak pernah tahu
bagaimana perasaannya terhadapku, mungkin begitu pula sebaliknya, ia tidak
pernah tahu bagaimana perasaanku sesungguhnya padanya. Perasaan ini, perasaan yang
terus menggantung, hingga pada akhirnya, ia telah memilih pujaan hatinya. Meninggalkanku.
Setelah sekitar enam tahun bersama, menjalin persahabatan semenjak masa SMP,
diiringi canda-tawa, keluh-kesah, saling berbagi kesedihan, dan hal-hal konyol
yang tak terungkap, sampai pada akhirnya semuanya berakhir. Kamipun berpisah.
Aku memutuskan untuk melanjutkan studi kuliah yang masih dalam satu kota dengan
tempatku terlahir. Sedangkan dia? Menikah. Ya, dia memutuskan untuk
menikah dengan seseorang yang bahkan tak aku kenal. Padahal aku adalah sahabat
baiknya semenjak SMP, namun kenapa tiba-tiba ia memutuskan untuk menikah?
Dengan seseorang yang ia rahasiakan dari sahabatnya sendiri, kenapa? Tidak
bisakah ia berbicara dahulu kepadaku, untuk sekadar curhat pada sahabat
baiknya, bertanya dan minta tanggapan tentang pria yang akan ia nikahi kepada
sahabatnya ini. Walau aku tahu hati ini pasti akan terluka ketika mendengar
curhatnya, tetapi setidaknya tidak terkejut dan lebih terluka seperti sekarang
ini. Dan bahkan aku mendengar kabar tentang pernikahannya ini tidak langsung
darinya, melainkan dari sepupunya, Vina.
15 Januari 2015, tanggal pernikahan Firly seperti yang tertera pada
surat undangan yang diberikan oleh Vina. Dan itu adalah hari ini. Tetapi
mungkin aku takkan datang pada akad nikah tersebut. Bagaimana mungkin? Hati ini
telah teriris, sungguh sakit rasanya, aku yang tidak tahu apa-apa, dia yang
tanpa sebab-musabab menjauh dariku semenjak perayaan kelulusan SMA. Kemudian
tiba-tiba setelah penantian panjang akan hadirnya, dengan lugunya aku menerima
sebuah surat yang meluncur bersama Vina, sebuah surat yang tidak hanya melukai
hati, melainkan pula menghancur-leburkan hati. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa
hadir di perayaan bahagianya dengan hati yang telah hancur-lebur?
Tetapi, dia adalah sahabatku, aku tidak bisa mengecewakannya. Semuanya
sudah berakhir, dia telah memutuskannya. Dan mungkin ini juga karena
kebodohanku yang tak pernah mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya. Atau
mungkin kebodohanku yang terlalu berharap lebih, sementara di hatinya aku tidak
lebih dari seorang sahabat tanpa ada perasaan lain. Bagaimanapun, aku tidak
bisa mengecewakannya dengan terus berlari menjauh darinya di saat ia telah
menemukan kebahagiaannya. Setidaknya aku harus datang untuk sekadar mengucapkan
selamat kepadanya. Tetapi mungkin, belum untuk hari ini, aku masih belum siap
untuk melihat kenyataan akan akad nikahnya. Mungkin aku akan datang di hari
lain, saat resepsi pernikahannya nanti. Aku masih bisa memberikan alasan sibuk
padanya, walau sebenarnya masih berusaha menenangkan hati dan mencoba untuk
menerima semua kenyataan.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat nama kontak yang tertera di
layar. Vina! Ada apa?!? Aku segera mengangkatnya.
Setelah Vina sedikit melakukan basa-basi pembukaan, ia kemudian berkata,
“Mas, apakah aku bisa minta bantuan?”
“Ya.” Jawabku pelan.
“Semenjak kemarin Mbak Firly berada di rumah simbah. Padahal sebentar
lagi akad nikah. Bisa minta tolong antarkan mbak Firly ke rumahnya sini sekarang?”
Simbah
. Jelas aku tahu di mana rumah simbah.
Satu-satunya nenek dari keluarga Firly dan Vina yang masih hidup. Dan rumahnya
terletak tidak jauh dari rumahku. Dahulu ketika masih SMP, aku sering bermain
dan menemui Firly di rumah tersebut. Tetapi kenapa sekarang Firly di sana? Dan
kenapa Vina meminta pertolonganku? Tidak tahukah ia bagaimana terlukanya hatiku
ini? Aku termenung sejenak memikirkannya. Apa yang harus aku lakukan? Dia
adalah sahabatku dan orang yang aku cintai, tetapi hati ini…
Akhirnya aku mengiyakan permintaan dari Vina. Setelah panggilan itu
tertutup, berjuta pertanyaan dan kegelisahan menimpa otakku. Untuk beberapa
menit, aku mondar-mandir di dalam rumah tanpa tentu arah dan tanpa tujuan.
Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk berangkat menyusulnya, walau dalam
hati perasaan bimbang masih menghantuiku selama perjalanan.
Di depan pintu rumah nenek Firly,
aku terpaku untuk beberapa saat. Bimbang dan gelisah. Sejuta keraguan menahan
tanganku untuk memberikan sebuah ketukan pintu. Aku berbalik dari pintu itu dan
menatap jalanan yang membentang. Cuaca mendung menyelimuti daerah ini, seakan
langit tahu betapa mendungnya hatiku sekarang ini. Aku kembali berbalik
menghadap pintu, mengambil nafas panjang untuk mengumpulkan keberanian untuk
menghadapi kenyataan ini. Tetapi, sebelum sempat mengetuk, pintu rumah itu
perlahan terbuka, nenek Firly tampak keluar menyambut akan kehadiranku. “Nak
Ryan?” ucap nenek dengan suara serak.
“I, iya,” Ucapku bimbang. Kemudian aku berusaha untuk melanjutkan
ucapanku. Namun, sebelum perkataanku selanjutnya hendak keluar, nenek segera
bertanya dengan raut wajah bingung.
“Kenapa Firly datang ke sini ya, cu? Tadi pagi-pagi sekali nenek kaget
melihat Firly tiba-tiba datang dengan wajah sendu. Ada apa ya, cu?”
‘Kenapa Firly datang ke sini dengan tampak sedih?’ Aku berkata
sendiri dengan bingung. Ada apa sebenarnya? Namun, tanpa basa-basi dan terdiam
bimbang lebih lama lagi, aku segera mengutarakan maksud kedatanganku, “Kurang
tau, mbah. Tetapi saya ke sini diminta dek Vina untuk menjemput Firly ke
pernikahannya. Simbah juga mau ikut.”
“Tidak usah, cu. Simbah sudah tidak kuat diajak bepergian. Biar simbah
nunggu rumah saja, dan di sini berdo’a untuk kelancaran pernikahan serta
kebahagiaan Firly.”
“Amin, mbah” Jawabku ragu, tak sepenuh hati. Dan disaat jawabanku itu
pula, aku melihat sosok Firly di balik tirai di dalam rumah.
Sepertinya
Firly tampak terkejut dan tak menyangka akan kedatanganku.
“Silahkan masuk dulu cu. Mbah panggilkan Firly di dalam.”
Aku segera masuk ke dalam rumah tersebut dan duduk di sofa terdekat dari
pintu. Nenek Firly kemudian masuk ke ruangan di balik tirai. Dari balik tirai,
aku melihat sepertinya nenek menjumpai Firly yang mungkin semenjak tadi sudah
berdiri di balik tirai tersebut. Terdengar samar percakapan antara Firly dan
neneknya. Kemudian dalam beberapa saat, Firly keluar untuk menemuiku dengan
wajah tertunduk.
Firly duduk di sofa di depanku. Bingung, aku tak tahu harus berkata apa
dan mulai dari mana. Dengan ragu, aku berkata, “Vina memintaku untuk ke sini,”
ucapanku berhenti sesaat, ragu untuk mengucapkannya, “untuk menjemputmu,” aku menelan dahak,
seakan tak sanggup melanjutkan, “ke pernikahan.”
Dari paras wajahnya, aku dapat melihat bahwa ia terkejut dengan alasan
kehadiranku. Sepertinya ia baru mengetahui bahwa aku datang atas permintaan
Vina. Dan setelah sepatah kalimat itu ku ucapkan, suasana menjadi hening untuk
beberapa saat. Tidak tampak ada tanda-tanda bahwa Firly akan membalas
kalimatku. Suasana saat ini seakan membeku. Entahlah, apa yang terjadi padanya.
Aku tidak mengerti dan aku pun benar-benar bingung harus berbuat. Seakan waktu telah
terhenti untuk beberapa saat. Aku mencoba berpikir cepat, berusaha untuk
menghentikan waktu yang membeku ini. Pada akhirnya aku mencoba untuk memulai
pembicaraan dengan menanyakan bagaimana kabarnya, apakah ia sakit sehingga
berada di sini, dan berbagai pertanyaan basa-basi lainnya yang seharusnya tidak
penting untuk ditanyakan. Namun, hanya sepatah dua patah yang keluar dari mulut
Firly untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Kaku. Itulah suasana yang aku
rasakan sekarang. Padahal kami ini sahabat baik, sudah semenjak SMP dahulu,
tetapi kenapa obrolan ini seperti dua orang yang baru berkenalan?
Hingga pada akhirnya, aku tak tahan dengan pembicaraan kaku ini. Tanpa
basa-basi lebih jauh lagi, aku pun mengajaknya untuk mengantarkan ke singgasana
pernikahannya. Dan dia hanya mengangguk dengan wajah tertunduk dalam
menanggapinya. Aku segera menemui nenek dan meminta izin pada beliau untuk
mengantarkan Firly. Kemudian kami segera menuju tempat di mana sepedaku
terparkir. Tetapi, saat kami baru mulai menginjakkan kaki ke tanah, tetesan air
dari langit mulai perlahan membasahi bumi. ‘Gerimis!’ batinku. Apakah
ini pertanda buruk? Ataukah langit benar-benar tahu betapa sedihnya hati ini.
Aku segera menyingkirkan ucapan batin yang berkecamuk dan bergegas
mengambil dua setel jas hujan yang sudah ku persiapkan sebelumnya di jok sepeda
motor. Aku mengenakan salah satu jas hujanku. Kemudian mengambil yang lain
untuk mengenakannya pada Firly, berharap kecantikannya menghadap singgsana
pernikahan tidak luntur, atau mungkin berharap sebaliknya, hujan akan membatalkan
pernikahan ini.
Sepeda motorku pun melaju. Sepanjang perjalanan, berbagai macam pikiran
menyerbu otakku. Kenapa aku mau-maunya menjemput Firly untuk mengantarkannya
pada singgasana pernikahan? Ini sama saja dengan menikam hatiku dengan tangan
sendiri.
Perjalanan kami inipun terkesan sangat kaku, hanya terasa suasana hiruk-pikuk
jalan raya disertai rintik hujan. Dia hanya diam tanpa kata. Dan akupun diam,
tak tahu harus berkata apa lagi. Apakah ada sesuatu yang salah yang aku lakukan
padanya? Aku tak mengerti. Padahal aku sudah mengorbankan semua perasaan dan
emosi meluap yang tak percaya akan pernikahannya ini demi mengantarnya pada
singgasana kebahagiaan. Tunggu, kebahagiaan? Apakah pernikahan ini benar-benar
darinya, ataukah...
Aku terdiam sejenak. Kemudian aku melihat ke spion sepedaku dan
mengarahkan spion tersebut agar aku dapat melihat wajah seseorang yang ku
bonceng. Bahagiakah ia? Tetapi wajah itu tidaklah menunjukkan wajah orang yang
sedang berbahagia. Dan bahkan…
Deg!
Degupku terhentak. Firly mengeratkan pelukan
tangannya di sekeliling pinggangku dan aku juga dapat melihat wajahnya yang
mulai terbasahi oleh tetesan air di balik helmnya. Jelas, bukan air hujan yang
membasahi wajah cantiknya. Wajahnya sendu. Ada apa sebenarnya? Apakah ada
sesuatu di balik pernikahan ini? Dan… tunggu… jangan-jangan dia ke rumah nenek
adalah untuk kabur dari pernikahannya. Apa? Apa yang sebenarnya terjadi?
Pikiranku kalut. Berbagai macam pikiran menyerbu otakku.
Belum sampai rasa heran, bingung, dan terkejut ini sirna dalam
pikiranku, tiba-tiba sebuah keterkejutan lain merenggut benakku. Sebuah truk
besar di depanku berhenti mendadak. Aku terkejut bukan main, sesegera mungkin
aku menginjak rem sepeda dan berusaha mengalihkan arah lajuku dari truk
tersebut. Namun nahas, jalan yang licin membuat keseimbanganku menghilang dan
seketika sepedaku tergelincir. Aku masih berusaha segenap tenaga mengendalikan
sepedaku yang melesat tanpa arah dan hamper terjatuh, namun kesialan tidak
berhenti sampai di situ. Sebuah mobil yang melaju kencang menghantam kami yang
telah kehilangan arah. Aku terlempar dari sepeda motor dan bersalto di udara. Pandangan
mataku menyebar ke segala penjuru tanpa tentu arah. Aku berusaha memusatkan
pandangan mataku untuk mencari sosok yang ku bonceng sebelumnya. Namun sia-sia,
tubuh yang terpelanting membuatku tak bisa mengendalikannya. Setelah beberapa
meter tubuhku menerima guncangan hebat, aku terkapar di atas tanah Rasa sakit
menjalar di sekujur tubuhku. Aku dapat merasakan beberapa bagian tubuhku
mengalirkan darah keluar dan membasahi tubuhku. Tetapi aku tak peduli dengan
itu, aku berusaha mengedarkan pandangan untuk mencari sosok cantik yang ku
cintai. Namun sia-sia, pandangan mataku mengabur dan yang dapat terakhir kali
ku lihat hanyalah tetesan hujan yang menyerang tubuhku.
Nunggu Endingnya nih , Air Mata Hujan ( Boy and Girl End Part ) :D
ReplyDeleteterima kasih sudah menanti, di sini part akhirnya :
DeleteFINAL PART
sampeyan ini ternyata pelulis fiksi handal.... salut
ReplyDeletehehe, handal apanya mbah?
Deletemasih amatiran, perlu banyak belajar. :)