Sunday, 3 August 2014 - , , 11 comments

RAHASIA HUJAN DAN AKU

Butiran embun membasahi kaca jendela, setetes demi setetes gerincing suara air jatuh bertetesan. Lembap kaca menghalangi pandangan hampa untuk menatap dunia luar. Terduduk… sepi, dan sendiri, menatap kaca jendela buram yang tak tahu apa yang berada di luar sana.
Sendiriku berada di dalam kamar, ditemani hujan yang sedang membasahi bumi. Entah apa yang ada dalam benakku, seakan terbasahi suara-suara rintikan hujan, rintikan-rintikan yang mengalir di dalam jaringan otakku. Aku bagai kehilangan akal, pikiranku terbang melayang, ku tak mengerti, apa yang sebenarnya ada dalam benakku. Kenangan-kenangan masa lalu tiba-tiba saja tersembur menghampiri.
~~*~~
Tubuhku bergemetar, terpaku di bagian jalan ditemani hujan yang membasahi sebagian pakaianku. Satu-dua bus umum telah melewatiku begitu saja, seakan tak melihat lambaian tanganku yang menanti dari serambi toko. Aku tak bisa menanti lebih lama lagi, aku beranjak menuju pinggir jalan untuk menghentikan bus selanjutnya. Tetapi tetesan hujan menyergap seluruh tubuhku dengan cepat. Kepalaku mulai  merasa pusing, aku tak bisa menunggu terlalu lama. Tetapi disaat itulah sebuah keajaiban muncul. Aliran tetesan hujan seakan membelah ke seluruh sisi tempatku berpijak.
Saat aku tersadar, seorang gadis telah berdiri tepat di sampingku sembari memegang sebuah payung yang melindungiku dari serbuan hujan. Aku tersentak mundur, terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Gadis tersebut tersenyum ke arahku sembari berkata, “Are you ok?”
Kata-kataku seakan tertahan oleh air yang mengalir di wajahku, aku hanya mengangguk dan berkata dengan terbata, “Si-apa?”
“Kamu Fadhil dari kelas 2-C, bukan?”
Aku hanya dapat mengangguk.
“Aku Aida, dari kelas sebelahmu, 2-D.” Ucapnya sambil tersenyum kembali.
DEG!’, aku terkejut, aku tak menyangka ada seorang gadis dari kelas lain yang mengenalku. Di SMA-ku, aku bukanlah sosok terkenal yang mudah berbaur, aku  hanyalah seorang siswa biasa yang tidak cukup supel, terlebih dengan seorang wanita. Dan aku berpikir bahwa takkan banyak murid dari kelas lain yang mengenalku.
“Sedang menunggu bus ya?” Dia kembali mengajukan pertanyaan tanpa menunggu respon dariku yang terdiam. Dan aku hanya kembali mengangguk.
“Mau diantar?” Aku terkejut dengan pertanyaan itu, aku tak bisa menjawabnya. Tetapi dia kembali berkata sembari menunjuk sebuah mobil hitam yang terparkir di seberang jalan, “Itu, aku pulang dengan diantarkan sopirku, mau ikut?”
Kali ini aku menjawabnya dengan menggeleng dan berkata, “Tak perlu, tidak usah repot-repot, aku bisa pulang sendiri.”
“Nona?” Seorang sopir berteriak ke arah kami.
“Tuh kan? Sopirku sudah panggil-panggil tuh, apa kau tega membiarkan seorang gadis terdiam menunggu di sini hanya untuk menantikan jawaban.”
Aku kembali terdiam.
*******

Itulah saat di mana aku pertama kali mengenalnya. Di awali dengan hujan, dan semuanya karena hujan. Di hari-hari berikutnya, aku lebih sering bertemu dengannya, dan juga dialah yang memberiku semangat selama masa-masa SMA itu. Sebuah kenangan berharga bagiku. Dan semakin hari, tanpa ku sadari, kami terlihat begitu dekat. Bahkan, perlahan muncul perasaan yang aku sendiri tak mengerti. Sebuah perasaan yang membuatku selalu menantikan kehadirannya.
~~*~~
Sebuah penantian dari usahaku akan terbayarkan sebentar lagi. Rasa gugup menjamah ke seluruh tubuhku. Tiba-tiba sebuah tangan lembut menepuk pundakku, diiringi dengan sebuah bisikan, “Kamu pasti bisa, aku yakin itu.”
Aida kembali menyemangatiku saat aku menantikan hasil olimpiade yang telah berlangsung dua hari ini. Aku berdiri di sebuah lapangan beserta peserta lain dan juga para guru yang mendampingi. Aku kembali mengikuti sebuah olimpiade tingkat SMA, begitu pula dengan Aida, tetapi kami berada pada bidang pelajaran yang berbeda, dan juga dia sudah gugur sebelum masuk sampai final. Hanya aku yang tersisa masuk 10 besar dari SMA-ku. Olimpiade ini bisa dikatakan sebagai olimpiade terpenting bagiku, karena olimpiade inilah yang akan menjadi olimpiade terakhirku. Sekarang aku sudah kelas tiga semester awal, dan menurut guruku, kelas tiga akan tidak diperbolehkan lagi untuk mengikuti kegiatan semacam olimpiade. Dan untuk olimpiade kali ini menjadi kesempatan terakhir bagi murid kelas tiga, karena sebentar lagi kami harus difokuskan pada Ujian Nasional. Maka dari itu, aku bertekad penuh untuk menciptakan sebuah prestasi berharga bagi sekolahku untuk terakhir kalinya. Terlebih, olimpiade ini adalah tingkat tertinggi yang pernah ku ikuti sejauh ini, olimpiade tingkat Jawa-Bali.
Saat-saat penantian pengumuman pemenang, tiba-tiba langit perlahan menjatuhkan setetes air jernih. “Gerimis?” aku bergumam.
“Lihat tuh. Kamu pasti menang, langitpun sudah memberikan tandanya.” Ucap Aida untuk kembali menyemangatiku.
Ini bukan pertama kalinya Aida mengucapkan hal semacam itu. Beberapa kali aku mengikuti olimpiade, dan beberapa kali pula Aida menghubungkan hujan sebagai pertanda keberuntunganku. Walau tidak setiap hujan turun memberikan pertanda baik padaku. Tetapi, entah sejak kapan aku memercayai bahwa hujan sebagai tanda keberuntungan bagiku. Karena banyak hal indah terjadi saat hujan turun. Dan hujan menjadi saat penantian bagiku.
*******

Ya, penantian dalam hujan. Dan itulah yang juga terjadi sekarang ini. Saat terduduk sendiri dengan pandangan hampa menatap butiran hujan. Tidak ku sangka, sudah berapa lama aku tidak pernah bertemu dengan sesosok gadis yang telah berhasil meluluhkan hatiku ini. Terakhir kali ku melihatnya adalah saat wisuda SMA, dan hingga dua tahun ini, aku sama sekali tidak pernah mendengar kabarnya. Tetapi aku sadar, aku tak bisa terpuruk dalam kesedihan. Aku masih terus mencoba menyemangati diri untuk menjalani masa-masa kuliah ini dan mencoba melupakan masa lalu itu. Tetapi dalam hati, perasaan itu masih bersarang manis, aku tak bisa begitu saja melupakannya. Karena dialah gadis penyelamat hidupku, penyemangat hariku, dan yang mewarnai setiap langkah tujuan hidupku. Kemudian, ke mana dia pergi?
~~*~~
Perjuangan masa SMA akan berakhir. Dan di bulan-bulan terakhir menuju Ujian Nasional, mulai menyebar desas-desus mengenai hubungan antara aku dengan Aida. Teman-temanku mulai sering menyindir perkara itu di sela-sela pembicaraan. Dan aku sudah beberapa kali meyakinkan bahwa kita hanya berteman, tidak lebih, dan aku juga tidak pernah berharap lebih. Aku hanya ingin menganggapnya sebagai teman baik, walau dalam hati aku tidak bisa membohongi sebuah perasaan yang timbul. Tetapi aku berkali-kali meyakinkan diri bahwa aku tidak pantas baginya, karena secara status sosial kami berbeda jauh. Aida merupakan anak perempuan dari seorang pejabat daerah yang ternama. Sedangkan aku? Hanya seorang anak biasa dari kalangan pedagang keliling. Aida terlalu baik padaku, dan aku takkan pernah bisa membalaskan kebaikannya itu.
“Dhil, sebentar lagi kan mau lulus SMA nih. Apa kau sudah memiliki rencana mau masuk universitas mana?” Anton, teman sebangkuku, tiba-tiba bertanya padaku yang sedang melamun di dalam kelas.
“Ehm… sudah sih.” Jawabku ragu.
“Apakah sama seperti universitas yang Aida inginkan?”
“Eh, apa maksudmu?!?!” jawabku tersentak kaget.
“Aida tuh kan anak orang kaya, dia pastinya akan masuk ke universitas ternama yang bisa dibilang membutuhkan biaya tinggi. Apa kau yakin dapat bertemu dengannya? Gak kangen tuh nantinya.”
“Eh, apa maksudmu sih?” Jawabku gelagapan. Tetapi benar katanya. Aku tidak bisa terus membohongi perasaan yang timbul di dalam hati, aku tak bisa memungkiri kenyataan bahwa bersamanya membuatku serasa jauh lebih hidup. Tetapi setelah ini… bagaimana denganku dan Aida nantinya? Akankah kami dapat bertemu kembali?
*******

Benar, akankah aku bisa bertemu dia kembali? Tetapi bahkan hingga kini aku belum pernah berbincang lagi semenjak saat itu. Semenjak beberapa minggu sebelum ujian nasional SMA dimulai, aku merasa dia mencoba menjauhiku. Saat itu aku tak tahu kenapa, apakah ada yang salah padaku. Aku hanya mencoba berpikir positif bahwa dia sedang berfokus pada ujian nasional. Setidaknya hingga aku mengetahui kenyataan sebenarnya darinya, sekitar seminggu setelah wisuda SMA, selembar pesan datang kepadaku. Secarik kertas yang hingga kini masih aku simpan. Dan kini tengah ku baca kembali untuk kesekian kalinya.
Maafkan aku, Fadhil. Aku mencoba menghindar darimu selama ini. Karena aku tak bisa menerima kenyataan ini. Orangtuaku telah merencanakan untuk melanjutkan pendidikanku ke luar negeri. Aku sebenarnya tak bisa menerimanya, tetapi aku juga tak bisa membantah keinginan keras mereka. Mereka sudah mendaftarkanku di sebuah universitas di Jerman. Aku sebenarnya tidak bisa menerima keputusan sepihak ini, karena sebenarnya aku tak bisa jauh darimu.. Aku… aku menyukaimu sudah sejak lama. Bahkan jauh sebelum aku memberanikan diri untuk berbicara padamu di bawah rintikan hujan yang memberiku keberanian. Sebenarnya saat itu aku terkejut sekaligus kecewa, karena ternyata kau tak mengenaliku, padahal sudah sejak lama aku memperhatikanmu. Tetapi aku sudah tak peduli lagi, aku senang bisa mengenalmu, berada di dekatmu membuatku tenang, aku bersyukur bahwa hujan saat itu bisa membuat kita dekat. Andai saja aku masih memiliki kesempatan bisa bersamamu lebih lama, tetapi sepertinya itu sudah tak mungkin. Oh, ya, aku akan berangkat besok pagi. Aku sangat berharap kita dapat bertemu kembali, suatu saat nanti. Semoga. ^_^
Tidak ku sangka aku kembali meneteskan air mata, padahal sudah berkali-kali aku membaca pesan dari secarik kertas ini. Mungkin karena aku sangat berharap dapat bertemu dengannya. Atau mungkin karena menyadari akan kebodohanku yang tidak peka dalam memahami perasaannya. Aku yang terlalu memedulikan akan status sosial itu, hingga tak mampu memahami akan ketulusan perasaannya yang sama sekali tidak memandang akan perbedaan itu.

Rintikan hujan perlahan mulai menghilang dari kaca jendela. Saat aku sadar, sudah hampir setengah jam semenjak aku termenung untuk mengenang semua kisah itu. Aku tak bisa melamun lebih lama lagi, semua sudah terjadi, dan aku tak bisa mengubah apapun di masa lalu. Biarkan semua itu menjadi rahasia antara hujan dan aku. Kini, sudah saatnya aku harus bergegas pergi, sudah terlalu lama aku menunggu di dalam kamar ini untuk bisa menuju kampus di seberang sana. Sudah saatnya bagiku untuk keluar dari kenangan masa lalu itu dan sekaranglah waktuku untuk menggapai impian yang ada di depan sana.

11 Blogger-Comments
Tweets
FB-Comments

11 comments:

  1. Yang lalu biarlah berlalu meski tak dapat dilupakan namun bisa diikhlaskan dan dijadikan pelajaran untuk menyongsong hari esok :) Ceritanya keren Sob :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya, benar sekali, yg berlalu biarlah berlalu.
      terima kasih sobat, anda adalah orang pertama yang mengatakan bahwa cerpen ini bagus. :D

      Delete
  2. hujan kala itu menjadi saksi perasaan yang tak terlupakan hingga kini
    tetap semangat om...

    ReplyDelete
  3. wah lama tidak kesini , cerpennya masih banyak
    hujan memang membawa perasaan yang lalu dan lain
    sendu hehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. hujan membawa kenangan tersendiri. :)
      salah satunya menyuburkan dedaunan. :D

      Delete
  4. Silahkan pasang banner "Absurd Blog Award" di blog lu. Kode ada di postingan gue. Dan syarat dilaksanakan ya!

    ReplyDelete
  5. Ceritanya bagus banget,,,, terus kata katanya juga dalam segi penulisannya,,, zaman SMA kan sudah berlalu sekarang sudah duduk di Bangku Kuliah semoga ada cerita lainnya juga yang lebih menarik :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. terima kasih atas apresiasinya ^.^
      oke, udah di foll back

      Delete

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^