Butiran embun membasahi kaca jendela, setetes demi setetes gerincing
suara air jatuh bertetesan. Lembap kaca menghalangi pandangan hampa untuk
menatap dunia luar. Terduduk… sepi, dan sendiri, menatap kaca jendela buram
yang tak tahu apa yang berada di luar sana.
Sendiriku berada di dalam kamar, ditemani hujan yang sedang membasahi
bumi. Entah apa yang ada dalam benakku, seakan terbasahi suara-suara rintikan
hujan, rintikan-rintikan yang mengalir di dalam jaringan otakku. Aku bagai kehilangan
akal, pikiranku terbang melayang, ku tak mengerti, apa yang sebenarnya ada
dalam benakku. Kenangan-kenangan masa lalu tiba-tiba saja tersembur menghampiri.
~~*~~
Tubuhku bergemetar, terpaku di bagian jalan ditemani hujan yang
membasahi sebagian pakaianku. Satu-dua bus umum telah melewatiku begitu saja,
seakan tak melihat lambaian tanganku yang menanti dari serambi toko. Aku tak
bisa menanti lebih lama lagi, aku beranjak menuju pinggir jalan untuk menghentikan
bus selanjutnya. Tetapi tetesan hujan menyergap seluruh tubuhku dengan cepat. Kepalaku
mulai merasa pusing, aku tak bisa
menunggu terlalu lama. Tetapi disaat itulah sebuah keajaiban muncul. Aliran tetesan
hujan seakan membelah ke seluruh sisi tempatku berpijak.
Saat aku tersadar, seorang gadis telah berdiri tepat di sampingku
sembari memegang sebuah payung yang melindungiku dari serbuan hujan. Aku
tersentak mundur, terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Gadis tersebut
tersenyum ke arahku sembari berkata, “Are you ok?”
Kata-kataku seakan tertahan oleh air yang mengalir di wajahku, aku hanya
mengangguk dan berkata dengan terbata, “Si-apa?”
“Kamu Fadhil dari kelas 2-C, bukan?”
Aku hanya dapat mengangguk.
“Aku Aida, dari kelas sebelahmu, 2-D.” Ucapnya sambil tersenyum kembali.
‘DEG!’, aku terkejut, aku tak menyangka ada seorang gadis dari
kelas lain yang mengenalku. Di SMA-ku, aku bukanlah sosok terkenal yang mudah
berbaur, aku hanyalah seorang siswa
biasa yang tidak cukup supel, terlebih dengan seorang wanita. Dan aku berpikir bahwa
takkan banyak murid dari kelas lain yang mengenalku.
“Sedang menunggu bus ya?” Dia kembali mengajukan pertanyaan tanpa
menunggu respon dariku yang terdiam. Dan aku hanya kembali mengangguk.
“Mau diantar?” Aku terkejut dengan pertanyaan itu, aku tak bisa
menjawabnya. Tetapi dia kembali berkata sembari menunjuk sebuah mobil hitam
yang terparkir di seberang jalan, “Itu, aku pulang dengan diantarkan sopirku,
mau ikut?”
Kali ini aku menjawabnya dengan menggeleng dan berkata, “Tak perlu, tidak
usah repot-repot, aku bisa pulang sendiri.”
“Nona?” Seorang sopir berteriak ke arah kami.
“Tuh kan? Sopirku sudah panggil-panggil tuh, apa kau tega membiarkan
seorang gadis terdiam menunggu di sini hanya untuk menantikan jawaban.”
Aku kembali terdiam.
*******
Itulah saat di mana aku pertama kali mengenalnya. Di awali dengan hujan,
dan semuanya karena hujan. Di hari-hari berikutnya, aku lebih sering bertemu
dengannya, dan juga dialah yang memberiku semangat selama masa-masa SMA itu.
Sebuah kenangan berharga bagiku. Dan semakin hari, tanpa ku sadari, kami
terlihat begitu dekat. Bahkan, perlahan muncul perasaan yang aku sendiri tak
mengerti. Sebuah perasaan yang membuatku selalu menantikan kehadirannya.
~~*~~
Sebuah penantian dari usahaku akan terbayarkan sebentar lagi. Rasa gugup
menjamah ke seluruh tubuhku. Tiba-tiba sebuah tangan lembut menepuk pundakku,
diiringi dengan sebuah bisikan, “Kamu pasti bisa, aku yakin itu.”
Aida kembali menyemangatiku saat aku menantikan hasil olimpiade yang telah
berlangsung dua hari ini. Aku berdiri di sebuah lapangan beserta peserta lain
dan juga para guru yang mendampingi. Aku kembali mengikuti sebuah olimpiade
tingkat SMA, begitu pula dengan Aida, tetapi kami berada pada bidang pelajaran yang
berbeda, dan juga dia sudah gugur sebelum masuk sampai final. Hanya aku yang
tersisa masuk 10 besar dari SMA-ku. Olimpiade ini bisa dikatakan sebagai
olimpiade terpenting bagiku, karena olimpiade inilah yang akan menjadi
olimpiade terakhirku. Sekarang aku sudah kelas tiga semester awal, dan menurut
guruku, kelas tiga akan tidak diperbolehkan lagi untuk mengikuti kegiatan
semacam olimpiade. Dan untuk olimpiade kali ini menjadi kesempatan terakhir
bagi murid kelas tiga, karena sebentar lagi kami harus difokuskan pada Ujian
Nasional. Maka dari itu, aku bertekad penuh untuk menciptakan sebuah prestasi
berharga bagi sekolahku untuk terakhir kalinya. Terlebih, olimpiade ini adalah
tingkat tertinggi yang pernah ku ikuti sejauh ini, olimpiade tingkat Jawa-Bali.
Saat-saat penantian pengumuman pemenang, tiba-tiba langit perlahan
menjatuhkan setetes air jernih. “Gerimis?” aku bergumam.
“Lihat tuh. Kamu pasti menang, langitpun sudah memberikan tandanya.”
Ucap Aida untuk kembali menyemangatiku.
Ini bukan pertama kalinya Aida mengucapkan hal semacam itu. Beberapa
kali aku mengikuti olimpiade, dan beberapa kali pula Aida menghubungkan hujan
sebagai pertanda keberuntunganku. Walau tidak setiap hujan turun memberikan
pertanda baik padaku. Tetapi, entah sejak kapan aku memercayai bahwa hujan
sebagai tanda keberuntungan bagiku. Karena banyak hal indah terjadi saat hujan
turun. Dan hujan menjadi saat penantian bagiku.
*******
Ya, penantian dalam hujan. Dan itulah yang juga terjadi sekarang ini.
Saat terduduk sendiri dengan pandangan hampa menatap butiran hujan. Tidak ku
sangka, sudah berapa lama aku tidak pernah bertemu dengan sesosok gadis yang
telah berhasil meluluhkan hatiku ini. Terakhir kali ku melihatnya adalah saat
wisuda SMA, dan hingga dua tahun ini, aku sama sekali tidak pernah mendengar
kabarnya. Tetapi aku sadar, aku tak bisa terpuruk dalam kesedihan. Aku masih
terus mencoba menyemangati diri untuk menjalani masa-masa kuliah ini dan
mencoba melupakan masa lalu itu. Tetapi dalam hati, perasaan itu masih
bersarang manis, aku tak bisa begitu saja melupakannya. Karena dialah gadis
penyelamat hidupku, penyemangat hariku, dan yang mewarnai setiap langkah tujuan
hidupku. Kemudian, ke mana dia pergi?
~~*~~
Perjuangan masa SMA akan berakhir. Dan di bulan-bulan terakhir menuju Ujian
Nasional, mulai menyebar desas-desus mengenai hubungan antara aku dengan Aida.
Teman-temanku mulai sering menyindir perkara itu di sela-sela pembicaraan. Dan
aku sudah beberapa kali meyakinkan bahwa kita hanya berteman, tidak lebih, dan
aku juga tidak pernah berharap lebih. Aku hanya ingin menganggapnya sebagai
teman baik, walau dalam hati aku tidak bisa membohongi sebuah perasaan yang
timbul. Tetapi aku berkali-kali meyakinkan diri bahwa aku tidak pantas baginya,
karena secara status sosial kami berbeda jauh. Aida merupakan anak perempuan
dari seorang pejabat daerah yang ternama. Sedangkan aku? Hanya seorang anak
biasa dari kalangan pedagang keliling. Aida terlalu baik padaku, dan aku takkan
pernah bisa membalaskan kebaikannya itu.
“Dhil, sebentar lagi kan mau lulus SMA nih. Apa kau sudah memiliki
rencana mau masuk universitas mana?” Anton, teman sebangkuku, tiba-tiba
bertanya padaku yang sedang melamun di dalam kelas.
“Ehm… sudah sih.” Jawabku ragu.
“Apakah sama seperti universitas yang Aida inginkan?”
“Eh, apa maksudmu?!?!” jawabku tersentak kaget.
“Aida tuh kan anak orang kaya, dia pastinya akan masuk ke universitas
ternama yang bisa dibilang membutuhkan biaya tinggi. Apa kau yakin dapat
bertemu dengannya? Gak kangen tuh nantinya.”
“Eh, apa maksudmu sih?” Jawabku gelagapan. Tetapi benar katanya. Aku tidak
bisa terus membohongi perasaan yang timbul di dalam hati, aku tak bisa
memungkiri kenyataan bahwa bersamanya membuatku serasa jauh lebih hidup. Tetapi
setelah ini… bagaimana denganku dan Aida nantinya? Akankah kami dapat bertemu
kembali?
*******
Benar, akankah aku bisa bertemu dia kembali? Tetapi bahkan hingga kini
aku belum pernah berbincang lagi semenjak saat itu. Semenjak beberapa minggu
sebelum ujian nasional SMA dimulai, aku merasa dia mencoba menjauhiku. Saat itu
aku tak tahu kenapa, apakah ada yang salah padaku. Aku hanya mencoba berpikir
positif bahwa dia sedang berfokus pada ujian nasional. Setidaknya hingga aku
mengetahui kenyataan sebenarnya darinya, sekitar seminggu setelah wisuda SMA, selembar
pesan datang kepadaku. Secarik kertas yang hingga kini masih aku simpan. Dan
kini tengah ku baca kembali untuk kesekian kalinya.
Maafkan aku, Fadhil. Aku mencoba menghindar
darimu selama ini. Karena aku tak bisa menerima kenyataan ini. Orangtuaku telah
merencanakan untuk melanjutkan pendidikanku ke luar negeri. Aku sebenarnya tak
bisa menerimanya, tetapi aku juga tak bisa membantah keinginan keras mereka.
Mereka sudah mendaftarkanku di sebuah universitas di Jerman. Aku sebenarnya
tidak bisa menerima keputusan sepihak ini, karena sebenarnya aku tak bisa jauh
darimu.. Aku… aku menyukaimu sudah sejak lama. Bahkan jauh sebelum aku
memberanikan diri untuk berbicara padamu di bawah rintikan hujan yang memberiku
keberanian. Sebenarnya saat itu aku terkejut sekaligus kecewa, karena ternyata
kau tak mengenaliku, padahal sudah sejak lama aku memperhatikanmu. Tetapi aku
sudah tak peduli lagi, aku senang bisa mengenalmu, berada di dekatmu membuatku
tenang, aku bersyukur bahwa hujan saat itu bisa membuat kita dekat. Andai saja
aku masih memiliki kesempatan bisa bersamamu lebih lama, tetapi sepertinya itu
sudah tak mungkin. Oh, ya, aku akan berangkat besok pagi. Aku sangat berharap
kita dapat bertemu kembali, suatu saat nanti. Semoga. ^_^
Tidak ku sangka aku kembali meneteskan air mata, padahal sudah
berkali-kali aku membaca pesan dari secarik kertas ini. Mungkin karena aku
sangat berharap dapat bertemu dengannya. Atau mungkin karena menyadari akan
kebodohanku yang tidak peka dalam memahami perasaannya. Aku yang terlalu
memedulikan akan status sosial itu, hingga tak mampu memahami akan ketulusan
perasaannya yang sama sekali tidak memandang akan perbedaan itu.
Rintikan hujan perlahan mulai menghilang dari kaca jendela. Saat aku
sadar, sudah hampir setengah jam semenjak aku termenung untuk mengenang semua
kisah itu. Aku tak bisa melamun lebih lama lagi, semua sudah terjadi, dan aku
tak bisa mengubah apapun di masa lalu. Biarkan semua itu menjadi rahasia antara
hujan dan aku. Kini, sudah saatnya aku harus bergegas pergi, sudah terlalu lama
aku menunggu di dalam kamar ini untuk bisa menuju kampus di seberang sana.
Sudah saatnya bagiku untuk keluar dari kenangan masa lalu itu dan sekaranglah
waktuku untuk menggapai impian yang ada di depan sana.
Yang lalu biarlah berlalu meski tak dapat dilupakan namun bisa diikhlaskan dan dijadikan pelajaran untuk menyongsong hari esok :) Ceritanya keren Sob :)
ReplyDeleteya, benar sekali, yg berlalu biarlah berlalu.
Deleteterima kasih sobat, anda adalah orang pertama yang mengatakan bahwa cerpen ini bagus. :D
hujan kala itu menjadi saksi perasaan yang tak terlupakan hingga kini
ReplyDeletetetap semangat om...
haha. ini fiksi om. ^_^
Deletewah lama tidak kesini , cerpennya masih banyak
ReplyDeletehujan memang membawa perasaan yang lalu dan lain
sendu hehe
hujan membawa kenangan tersendiri. :)
Deletesalah satunya menyuburkan dedaunan. :D
Silahkan pasang banner "Absurd Blog Award" di blog lu. Kode ada di postingan gue. Dan syarat dilaksanakan ya!
ReplyDeletewah, bisa dipasang yah? oke deh
DeleteCeritanya bagus banget,,,, terus kata katanya juga dalam segi penulisannya,,, zaman SMA kan sudah berlalu sekarang sudah duduk di Bangku Kuliah semoga ada cerita lainnya juga yang lebih menarik :)
ReplyDeletefollow ke 34 follow back yah :)
Deleteterima kasih atas apresiasinya ^.^
Deleteoke, udah di foll back