Tuesday, 29 July 2014 - , 0 comments

ANDI & RUDI : Balapan Sepeda

Coba perhatikan sosok wajah dari seorang bocah di samping ini. Perkenalkan! Ia bernama Andi, seorang bocah berumur 10 tahun, siswa di sebuah SD Swasta “Harapan Bangsa”. Dia adalah seorang bocah yang tidak banyak bicara, ulet, dan cerdas. Andi merupakan seorang anak dari keluarga sederhana, ayahnya hanya seorang cleaning service di yayasan tempat Andi bersekolah, yaitu yayasan “Harapan Bangsa”, sedangkan ibunya berjualan di sebuah warung kecil di depan rumah. Dalam perjalanan antara sekolah dengan rumah, biasanya Andi berangkat bersama ayahnya menggunakan sebuah sepeda tua milik sang ayah. Tetapi, seringkali saat pulang sekolah, Andi harus mengendarai sepeda tua itu seorang diri, karena ayahnya masih memiliki beberapa urusan di sekolahnya.
Nah, bila sebelumnya ada bocah bernama Andi, untuk wajah pada gambar di samping kali ini bernama Rudi. Ia sebaya dengan Andi, juga merupakan siswa SD yang bersekolah di SD Swasta “Harapan Bangsa”. Tetapi berbeda dengan Andi, Rudi merupakan seorang anak dari keluarga yang mapan, ia adalah anak dari pemilik yayasan “Harapan Bangsa”. Ya, ayahnya merupakan pendiri sekaligus pemilik yayasan “Harapan Bangsa” tersebut. Yayasan yang mulai didirikan tahun 2002 tersebut, bermula dari ayah Rudi yang mendirikan taman pendidikan berupa gedung kecil seluas 15 meter untuk anak-anak SD kurang mampu. Dan semenjak tahun 2007 hingga sekarang, di tahun 2010 ini, yayasan tersebut telah berkembang dengan pesat dan telah memiliki gedung-gedung megah untuk tempat mengajar di jenjang SD, SMP, hingga SMA. Jadi, tahu sendiri seberapa mapannya Rudi. Tetapi sang ayah berusaha mengajarkan padanya untuk hidup mandiri dan tidak manja. Semenjak kelas 3 SD, Rudi sudah terbiasa bersekolah tanpa diantarkan sopir pribadinya, ia biasanya menggunakan sebuah sepeda balap seharga jutaan rupiah.
Dengan kondisi ekonomi keluarga yang mapan tersebut, terlebih merupakan anak pemilik yayasan, Rudi banyak dikelilingi oleh kawan-kawannya, entah itu hanya untuk memanfaatkan kekayaan Rudi atau memang tulus bersahabat dengannya. Hal tersebut membuat Rudi merasa sedikit sombong, dan ia pun tidak jarang meledek Andi yang merupakan teman sekelasnya. Andi yang merupakan bocah pendiam dan tidak banyak tingkah, bahkan tidak membalas ketika dicaci ataupun dijahili teman-temannya, membuat Rudi suka sekali menyindir ataupun menjahilinya.
Seringkali di saat pulang sekolah dan ketika Rudi melihat Andi yang keluar dari lingkungan sekolah membawa sepeda tua, Rudi menyindir dan mencaci sepeda tua yang dibawa Andi. Rudi pernah mencaci bahwa sepeda tua semacam itu tidak lama lagi juga akan mati, atau dengan mengatakan bahwa sepeda tua semacam itu lebih baik dimuseumkan saja, atau juga pernah meledek bahwa sepeda tua semacam itu dibawa bersepeda 100 meter saja sudah pada lepas semua bagian-bagiannya. Dan masih banyak lagi cacian yang pernah dilontarkan oleh Rudi.
Pada suatu hari di terik panas matahari sepulang dari sekolah, Rudi berjalan keluar dari lingkungan sekolah dengan menuntun sepedanya bersama kedua orang temannya. Di saat itu Rudi melihat Andi telah siap hendak mengayuh sepeda tuanya, kemudian Rudi menyindir, “Wah, wah, sepeda setua itu masih berumur panjang saja, ya? Tetapi memangnya sepeda kayak gitu bisa jalan ya? Kalaupun bisa jalan, paling-paling masih lebih cepat aku berjalan kaki.” Dan sindiran itupun mengundang tawa kedua teman yang bersamanya. Rudi melanjutkan, “Yang namanya sepeda itu kayak gini loh,” Rudi menunjuk ke arah sepeda balapnya dengan rasa bangga, “ini nih sepeda balap, menyeimbangi kecepatan sepeda motor masih sanggup nih. Iya kan teman-teman?” Ucap Rudi meminta persetujuan kedua temannya dan dibalas dengan anggukan.
 “Iya Rud, ibaratnya itu tuh, antara kura-kura dengan kelinci. Kura-kura yang jalannya lambat benar, satu langkah celetuk, satu langkah lagi celetuk,” Ucap salah seorang teman Rudi sambil menirukan langkah lambat kura-kura, “nah dibandingkan dengan kelinci yang wuisss cepat, ketinggalan dah.”
Rudi menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk-angguk, menyetujui pengibaratan tersebut. Sedangkan Andi yang sedari tadi hanya menatap ketiga temannya tersebut, tiba-tiba terlintas sesuatu di dalam pikirannya. Kemudian Andi berkata, “Jika memang perbandingan kecepatannya sehebat itu, kenapa tidak dibuktikan saja?”
“Ha.. apa maksudmu?” Rudi kaget dan tersentak dengan ucapan Andi tersebut.
“Bagaimana bila kita adu balap sepeda?”
“Ha.. Ha..” Rudi tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan ucapan Andi diiringi dengan tawa kedua temannya. Rudi seakan masih tidak percaya dengan tantangan dari Andi yang biasanya terkenal pendiam dan tidak akan membalas ledekan mereka tersebut. Kemudian Rudi berkata, “Seriusan nih?”
Andi hanya membalasnya dengan anggukan yang disertai dengan senyuman.
sumber gambar
“Haha, emang sepeda kayak gitu bisa buat balapan sepeda, ya? Sepedaku ini nih sepeda balap, sudah terbiasa digunakan untuk melaju kencang seperti balapan. Lah, sedangkan sepeda tua gitu, apa gak rusak semuanya ya nantinya?”
“Takut?” Balas Andi dengan simpel.
“Haha, gila saja kau! Andi, Andi! Okelah, okelah, gak masalah. Tetapi kurang seru nih. Iya kan teman-teman?” Ucap Rudi dengan tatapan sinisnya, sambil melirik ke arah kedua temannya seakan meminta persetujuan.
“Benar, Rud. Yang kalah harus dapat hukuman, Rud.” Salah seorang temannya membalas.
“Baiklah, bagaimana jika begini, jika aku yang menang, kau harus jadi pembantuku selama seminggu, kau harus menuruti semua perintah dariku. Tetapi jika kau menang, jika kamu menang loh yah, Andi. Kita-kita berjanji akan berhenti menyindir, meledek, atau apapun itu padamu. Dan jika ada yang berani menyindir, aku pastikan akan memarahi orang tersebut. Lalu.. ehm… jika masih kurang, aku bakalan membersihkan sekolahan deh besok. Nah, kapan lagi tuh, anak pemilik sekolah membersihkan sekolahannya, bisa malu-maluin tuh. Bagaimana?”
Andi terlihat cukup ragu, “Ehm… ini taruhan enggak sih ya? Taruhan itu kan gak bo…”
Belum sampai Andi menyelesaikan ucapannya, Rudi lekas memotong, “Halah! Bilang aja kalau takut.”
“Ehm… tetapi jika aku menang, kita bersahabat saja yah?”
“Eh? Ehm… bolehlah.” Rudi terdiam sejenak, kemudian berkata, “Baiklah, bagaimana kalau kita bertanding untuk menuju ke jembatan di atas sungai yang berada di sebelahnya lapangan sepak bola itu loh. Bagaimana? Sanggup enggak sepeda tua itu?”
“Okelah, siapa takut.”
Rudi kemudian menghadap pada kedua temannya dan berkata, “Baiklah kalian jadi jurinya. Sekarang kalian cepat ke jembatan di sana itu duluan. Yah, walaupun sudah pasti siapa yang menang sih, tetapi kalian buruan ke sana, nanti tunggu dan lihat saja siapa yang menang.”
“Oke, boss….” Jawab mereka hampir bersamaan.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Andi dan Rudi telah bersiap untuk memulai balapan sepeda mereka. Dengan dikomandoi oleh Rudi, mereka telah siaga untuk mengayuh pedal sepeda mereka masing-masing.
“Satu…”
“Dua…”
“Tiga..”
Rudi begegas mengayuh sepeda balapnya dengan sekuat tenaga dan melesat kencang menjauhi Andi. Sementara Andi juga terlihat berusaha mengayuh sepeda tuanya dengan sekuat tenaga dan sepeda tua itupun melesat secepat yang disanggupinya, tetapi itu masih kalah cepat bila dibandingkan kelajuan sepeda balap Rudi.
“Haha.” Rudi tertawa puas saat melirik ke belakang dan mengetahui bahwa ia perlahan semakin memperpanjang jarak antara dia dengan Andi. Di terik panas matahari saat itupun menjadi sebuah pertandingan sengit antara Andi dan Rudi. Andi dengan segenap kemampuannya berusaha mengayuh sepedanya tanpa henti. Sementara Rudi yang semakin melesat menjauhi posisi Andi mulai menyantaikan kayuhan sepedanya. Jarak antara Rudi dengan Andi terpaut semakin jauh. Rudi sudah tidak melihat tanda-tanda akan kehadiran Andi yang akan membalapnya, ia mulai bisa bersantai dengan kayuhan sepedanya, dengan sesekali mengusap keringat di wajahnya di terik matahari siang itu.
Sekitar tiga ratus meter sebelum ke jembatan ~finish dari balapan sepeda tersebut~ Rudi melihat sebuah warung kecil di pinggir jalan. Rudi melirik sebentar ke belakang dan dalam batin berkata, “Wah, ada warung nih, dibuat untuk beli es teh sebentar masih sempat nih, lagian Andi masih jauh banget dah.
Rudi memutuskan untuk sejenak singgah di warung tersebut. Rudi lekas memesan es teh, dan sambil menunggu pembuatan es teh tersebut, ia mencicipi beberapa gorengan yang terhidang di depan warung. Rudi memakan beberapa gorengan sambil tetap siaga untuk mewaspadai jalanan yang ia lalui. Kemudian sekilas pandangan Rudi melirik ke arah televisi yang menyala di dalam warung tersebut, tampak channel Gombal TV sedang menyiarkan big movies berjudul Cemen Rider. Rudi yang tertarik dengan film tersebut kemudian perlahan mendekatkan duduknya ke dalam warung tersebut.
Karena terlanjur asyik menonton big movies yang disiarkan channel Gombal TV tersebut, Rudi tetap berfokus menonton film tersebut bahkan hingga es teh yang diminumnya telah habis. Seorang ibu pemilik warung yang melihat seorang bocah yang asyik menonton televisi itupun terusik untuk mengamati bocah tersebut. Ibu tersebut menyadari pakaian seragam yang dikenakan oleh si bocah tersebut.
“Oh, kamu bersekolah di SD Harapan Bangsa ya, nak?” Ibu tersebut bertanya untuk berusaha ramah dengan pelanggannya yang asyik menonton tersebut.
“Iya.” Jawab Rudi datar, tanpa mengalihkan perhatiannya pada layar televisi.
“Kelas berapa, nak?”
“5.”
“Oh, berarti kamu temannya Andi ya?”
“Ha..” Rudi akhirnya tersadar akan sesuatu yang ia lupakan.
“Oh, iya, perkenalkan saya ibunya Andi. Saya….”
“Ah, bodoh…” potong Rudi sembari memukul kepalanya sendiri, tersadar akan sesuatu.
Rudi terburu-buru beranjak dari tempat dan berlari menuju sepedanya. Ibu yang ternyata ibu Andi tersebut terkejut dengan tingkah bocah yang tiba-tiba kabur begitu saja. Kemudian ibu itu berkata, “Nak, tunggu, nak, es teh sama gorengannya belum dibayar.”
Tanpa memedulikan teriakan dari sang ibu tersebut, Rudi telah mengayuh sekuat tenaga sepedanya dan melesat kencang meninggalkan warung tersebut.
Sementara itu, beberapa menit sebelumnya, kedua teman Rudi yang telah menunggu di garis finish terkejut bukan main saat melihat Andi beserta sepedanya bergerak mendekati mereka. Mereka berdua saling beradu tatap mata, seakan berkata, “Lah, kok bisa? Ke mana Rudi?” Mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, tetapi kenyataannya memang Andi lah yang mendekati posisi mereka.
Akhirnya, ketika Rudi telah sampai di garis finish dengan nafas memburu, ia harus percaya dan menerima kenyataan bahwa Andi yang telah berada dahulu di garis finish. Rudi berteriak histeris saat mengetahui kenyataannya. “AHHH… Mampus dah!!!”
sumber gambar
“Nah, benar, kan kata kalian, seperti kisah kura-kura kelinci. Kelinci yang terlalu sombong sehingga meremehkan orang lain dan terlena dengan keunggulannya dalam kecepatan. Sedangkan kura-kura yang walau sebenarnya bergeraknya lambat, tetapi karena dia mau bersungguh-sungguh, dia dapat memenangkannya. Makanya, jadi orang itu jangan sombong dan suka meremehkan orang lain seperti kelinci dalam kisah tersebut, akibatnya ya itu, akhirnya terlena dan lupa diri. Segala sesuatu itu pasti bisa dicapai jika kita mau sungguh-sungguh tanpa meremehkan orang lain dan terlena oleh keunggulan kita.”
“Ah. Sok Bijak…” ucap Rudi dengan wajah merengut. Kemudian berpaling seraya berkata, “Sudah lah ayo kita pulang.”
“Masih ingat dengan janjinya, kan?” ucap Andi.
“Iya, iya.” Jawab Rudi dengan nada bersungut tanpa sedikit pun memalingkan wajahnya ke arah Andi.

0 comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^