Coba perhatikan sosok wajah dari seorang bocah di samping ini. Perkenalkan!
Ia bernama Andi, seorang bocah berumur 10 tahun, siswa di sebuah SD Swasta “Harapan
Bangsa”. Dia adalah seorang bocah yang tidak banyak bicara, ulet, dan cerdas. Andi
merupakan seorang anak dari keluarga sederhana, ayahnya hanya seorang cleaning
service di yayasan tempat Andi bersekolah, yaitu yayasan “Harapan Bangsa”,
sedangkan ibunya berjualan di sebuah warung kecil di depan rumah. Dalam
perjalanan antara sekolah dengan rumah, biasanya Andi berangkat bersama ayahnya
menggunakan sebuah sepeda tua milik sang ayah. Tetapi, seringkali saat pulang
sekolah, Andi harus mengendarai sepeda tua itu seorang diri, karena ayahnya
masih memiliki beberapa urusan di sekolahnya.
Nah, bila sebelumnya ada bocah bernama Andi, untuk wajah pada gambar di
samping kali ini bernama Rudi. Ia sebaya dengan Andi, juga merupakan siswa SD
yang bersekolah di SD Swasta “Harapan Bangsa”. Tetapi berbeda dengan Andi, Rudi
merupakan seorang anak dari keluarga yang mapan, ia adalah anak dari pemilik
yayasan “Harapan Bangsa”. Ya, ayahnya merupakan pendiri sekaligus pemilik
yayasan “Harapan Bangsa” tersebut. Yayasan yang mulai didirikan tahun 2002 tersebut, bermula dari ayah Rudi yang mendirikan taman pendidikan berupa gedung
kecil seluas 15 meter untuk anak-anak SD kurang mampu. Dan semenjak tahun 2007
hingga sekarang, di tahun 2010 ini, yayasan tersebut telah berkembang dengan
pesat dan telah memiliki gedung-gedung megah untuk tempat mengajar di jenjang
SD, SMP, hingga SMA. Jadi, tahu sendiri seberapa mapannya Rudi. Tetapi sang
ayah berusaha mengajarkan padanya untuk hidup mandiri dan tidak manja. Semenjak
kelas 3 SD, Rudi sudah terbiasa bersekolah tanpa diantarkan sopir pribadinya,
ia biasanya menggunakan sebuah sepeda balap seharga jutaan rupiah.
Dengan kondisi ekonomi keluarga yang mapan tersebut, terlebih merupakan
anak pemilik yayasan, Rudi banyak dikelilingi oleh kawan-kawannya, entah itu
hanya untuk memanfaatkan kekayaan Rudi atau memang tulus bersahabat dengannya.
Hal tersebut membuat Rudi merasa sedikit sombong, dan ia pun tidak jarang
meledek Andi yang merupakan teman sekelasnya. Andi yang merupakan bocah pendiam
dan tidak banyak tingkah, bahkan tidak membalas ketika dicaci ataupun dijahili
teman-temannya, membuat Rudi suka sekali menyindir ataupun menjahilinya.
Seringkali di saat pulang sekolah dan ketika Rudi melihat Andi yang
keluar dari lingkungan sekolah membawa sepeda tua, Rudi menyindir dan mencaci
sepeda tua yang dibawa Andi. Rudi pernah mencaci bahwa sepeda tua semacam itu
tidak lama lagi juga akan mati, atau dengan mengatakan bahwa sepeda tua semacam
itu lebih baik dimuseumkan saja, atau juga pernah meledek bahwa sepeda tua
semacam itu dibawa bersepeda 100 meter saja sudah pada lepas semua
bagian-bagiannya. Dan masih banyak lagi cacian yang pernah dilontarkan oleh
Rudi.
Pada suatu hari di terik panas matahari sepulang dari sekolah, Rudi
berjalan keluar dari lingkungan sekolah dengan menuntun sepedanya bersama kedua
orang temannya. Di saat itu Rudi melihat Andi telah siap hendak mengayuh sepeda
tuanya, kemudian Rudi menyindir, “Wah, wah, sepeda setua itu masih berumur
panjang saja, ya? Tetapi memangnya sepeda kayak gitu bisa jalan ya? Kalaupun
bisa jalan, paling-paling masih lebih cepat aku berjalan kaki.” Dan sindiran
itupun mengundang tawa kedua teman yang bersamanya. Rudi melanjutkan, “Yang
namanya sepeda itu kayak gini loh,” Rudi menunjuk ke arah sepeda balapnya
dengan rasa bangga, “ini nih sepeda balap, menyeimbangi kecepatan sepeda motor
masih sanggup nih. Iya kan teman-teman?” Ucap Rudi meminta persetujuan kedua
temannya dan dibalas dengan anggukan.
“Iya Rud, ibaratnya itu tuh,
antara kura-kura dengan kelinci. Kura-kura yang jalannya lambat benar, satu
langkah celetuk, satu langkah lagi celetuk,” Ucap salah seorang teman Rudi
sambil menirukan langkah lambat kura-kura, “nah dibandingkan dengan kelinci
yang wuisss cepat, ketinggalan dah.”
Rudi menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil mengangguk-angguk, menyetujui pengibaratan
tersebut. Sedangkan Andi yang sedari tadi hanya menatap ketiga temannya
tersebut, tiba-tiba terlintas sesuatu di dalam pikirannya. Kemudian Andi
berkata, “Jika memang perbandingan kecepatannya sehebat itu, kenapa tidak
dibuktikan saja?”
“Ha.. apa maksudmu?” Rudi kaget dan tersentak dengan ucapan Andi
tersebut.
“Bagaimana bila kita adu balap sepeda?”
“Ha.. Ha..” Rudi tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan ucapan Andi
diiringi dengan tawa kedua temannya. Rudi seakan masih tidak percaya dengan
tantangan dari Andi yang biasanya terkenal pendiam dan tidak akan membalas
ledekan mereka tersebut. Kemudian Rudi berkata, “Seriusan nih?”
Andi hanya membalasnya dengan anggukan yang disertai dengan senyuman.
sumber gambar |
“Haha, emang sepeda kayak gitu bisa buat balapan sepeda, ya? Sepedaku
ini nih sepeda balap, sudah terbiasa digunakan untuk melaju kencang seperti
balapan. Lah, sedangkan sepeda tua gitu, apa gak rusak semuanya ya nantinya?”
“Takut?” Balas Andi dengan simpel.
“Haha, gila saja kau! Andi, Andi! Okelah, okelah, gak masalah. Tetapi
kurang seru nih. Iya kan teman-teman?” Ucap Rudi dengan tatapan sinisnya,
sambil melirik ke arah kedua temannya seakan meminta persetujuan.
“Benar, Rud. Yang kalah harus dapat hukuman, Rud.” Salah seorang
temannya membalas.
“Baiklah, bagaimana jika begini, jika aku yang menang, kau harus jadi
pembantuku selama seminggu, kau harus menuruti semua perintah dariku. Tetapi
jika kau menang, jika kamu menang loh yah, Andi. Kita-kita berjanji akan
berhenti menyindir, meledek, atau apapun itu padamu. Dan jika ada yang berani
menyindir, aku pastikan akan memarahi orang tersebut. Lalu.. ehm… jika masih
kurang, aku bakalan membersihkan sekolahan deh besok. Nah, kapan lagi tuh, anak
pemilik sekolah membersihkan sekolahannya, bisa malu-maluin tuh. Bagaimana?”
Andi terlihat cukup ragu, “Ehm… ini taruhan enggak sih ya? Taruhan itu
kan gak bo…”
Belum sampai Andi menyelesaikan ucapannya, Rudi lekas memotong, “Halah!
Bilang aja kalau takut.”
“Ehm… tetapi jika aku menang, kita bersahabat saja yah?”
“Eh? Ehm… bolehlah.” Rudi terdiam sejenak, kemudian berkata, “Baiklah,
bagaimana kalau kita bertanding untuk menuju ke jembatan di atas sungai yang
berada di sebelahnya lapangan sepak bola itu loh. Bagaimana? Sanggup enggak
sepeda tua itu?”
“Okelah, siapa takut.”
Rudi kemudian menghadap pada kedua temannya dan berkata, “Baiklah kalian
jadi jurinya. Sekarang kalian cepat ke jembatan di sana itu duluan. Yah,
walaupun sudah pasti siapa yang menang sih, tetapi kalian buruan ke sana, nanti
tunggu dan lihat saja siapa yang menang.”
“Oke, boss….” Jawab mereka hampir bersamaan.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Andi dan Rudi telah bersiap untuk
memulai balapan sepeda mereka. Dengan dikomandoi oleh Rudi, mereka telah siaga
untuk mengayuh pedal sepeda mereka masing-masing.
“Satu…”
“Dua…”
“Tiga..”
Rudi begegas mengayuh sepeda balapnya dengan sekuat tenaga dan melesat
kencang menjauhi Andi. Sementara Andi juga terlihat berusaha mengayuh sepeda
tuanya dengan sekuat tenaga dan sepeda tua itupun melesat secepat yang
disanggupinya, tetapi itu masih kalah cepat bila dibandingkan kelajuan sepeda
balap Rudi.
“Haha.” Rudi tertawa puas saat melirik ke belakang dan mengetahui bahwa
ia perlahan semakin memperpanjang jarak antara dia dengan Andi. Di terik panas
matahari saat itupun menjadi sebuah pertandingan sengit antara Andi dan Rudi.
Andi dengan segenap kemampuannya berusaha mengayuh sepedanya tanpa henti.
Sementara Rudi yang semakin melesat menjauhi posisi Andi mulai menyantaikan
kayuhan sepedanya. Jarak antara Rudi dengan Andi terpaut semakin jauh. Rudi
sudah tidak melihat tanda-tanda akan kehadiran Andi yang akan membalapnya, ia
mulai bisa bersantai dengan kayuhan sepedanya, dengan sesekali mengusap
keringat di wajahnya di terik matahari siang itu.
Sekitar tiga ratus meter sebelum ke jembatan ~finish dari balapan sepeda
tersebut~ Rudi melihat sebuah warung kecil di pinggir jalan. Rudi melirik
sebentar ke belakang dan dalam batin berkata, “Wah, ada warung nih, dibuat
untuk beli es teh sebentar masih sempat nih, lagian Andi masih jauh banget dah.”
Rudi memutuskan untuk sejenak singgah di warung tersebut. Rudi lekas
memesan es teh, dan sambil menunggu pembuatan es teh tersebut, ia mencicipi
beberapa gorengan yang terhidang di depan warung. Rudi memakan beberapa
gorengan sambil tetap siaga untuk mewaspadai jalanan yang ia lalui. Kemudian
sekilas pandangan Rudi melirik ke arah televisi yang menyala di dalam warung
tersebut, tampak channel Gombal TV sedang menyiarkan big movies berjudul Cemen
Rider. Rudi yang tertarik dengan film tersebut kemudian perlahan mendekatkan
duduknya ke dalam warung tersebut.
Karena terlanjur asyik menonton big movies yang disiarkan channel Gombal
TV tersebut, Rudi tetap berfokus menonton film tersebut bahkan hingga es teh
yang diminumnya telah habis. Seorang ibu pemilik warung yang melihat seorang
bocah yang asyik menonton televisi itupun terusik untuk mengamati bocah
tersebut. Ibu tersebut menyadari pakaian seragam yang dikenakan oleh si bocah
tersebut.
“Oh, kamu bersekolah di SD Harapan Bangsa ya, nak?” Ibu tersebut
bertanya untuk berusaha ramah dengan pelanggannya yang asyik menonton tersebut.
“Iya.” Jawab Rudi datar, tanpa mengalihkan perhatiannya pada layar
televisi.
“Kelas berapa, nak?”
“5.”
“Oh, berarti kamu temannya Andi ya?”
“Ha..” Rudi akhirnya tersadar akan sesuatu yang ia lupakan.
“Oh, iya, perkenalkan saya ibunya Andi. Saya….”
“Ah, bodoh…” potong Rudi sembari memukul kepalanya sendiri, tersadar
akan sesuatu.
Rudi terburu-buru beranjak dari tempat dan berlari menuju sepedanya. Ibu
yang ternyata ibu Andi tersebut terkejut dengan tingkah bocah yang tiba-tiba
kabur begitu saja. Kemudian ibu itu berkata, “Nak, tunggu, nak, es teh sama
gorengannya belum dibayar.”
Tanpa memedulikan teriakan dari sang ibu tersebut, Rudi telah mengayuh
sekuat tenaga sepedanya dan melesat kencang meninggalkan warung tersebut.
Sementara itu, beberapa menit sebelumnya, kedua teman Rudi yang telah
menunggu di garis finish terkejut bukan main saat melihat Andi beserta
sepedanya bergerak mendekati mereka. Mereka berdua saling beradu tatap mata,
seakan berkata, “Lah, kok bisa? Ke mana Rudi?” Mereka tidak percaya
dengan apa yang mereka lihat, tetapi kenyataannya memang Andi lah yang
mendekati posisi mereka.
Akhirnya, ketika Rudi telah sampai di garis finish dengan nafas memburu,
ia harus percaya dan menerima kenyataan bahwa Andi yang telah berada dahulu di
garis finish. Rudi berteriak histeris saat mengetahui kenyataannya. “AHHH…
Mampus dah!!!”
sumber gambar |
“Nah, benar, kan kata kalian, seperti kisah kura-kura kelinci. Kelinci
yang terlalu sombong sehingga meremehkan orang lain dan terlena dengan
keunggulannya dalam kecepatan. Sedangkan kura-kura yang walau sebenarnya
bergeraknya lambat, tetapi karena dia mau bersungguh-sungguh, dia dapat
memenangkannya. Makanya, jadi orang itu jangan sombong dan suka meremehkan
orang lain seperti kelinci dalam kisah tersebut, akibatnya ya itu, akhirnya
terlena dan lupa diri. Segala sesuatu itu pasti bisa dicapai jika kita mau
sungguh-sungguh tanpa meremehkan orang lain dan terlena oleh keunggulan kita.”
“Ah. Sok Bijak…” ucap Rudi dengan wajah merengut. Kemudian berpaling
seraya berkata, “Sudah lah ayo kita pulang.”
“Masih ingat dengan janjinya, kan?” ucap Andi.
“Iya, iya.” Jawab Rudi dengan nada bersungut tanpa sedikit pun memalingkan
wajahnya ke arah Andi.
0 comments:
Post a Comment
Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^