“Huft….” Aku mengembuskan nafas perlahan, mencoba meneguhkan hati
dan meyakinkan diri bahwa hari ini aku pasti akan menemuinya. Aku membuka pintu
rumahku dan mulai melangkahkan kaki dengan penuh rasa harap dan cemas. Setelah
kemarin aku gagal bertemu dengannya walau telah menanti dan mengorbankan
seluruh waktuku hingga malam menjelang, hari ini aku kembali mencoba untuk
menantinya tanpa putus asa. “Hari ini pasti bertemu. Hari ini aku
sangat yakin pasti dia akan datang. Tidak salah lagi, hari ini aku akan dapat
bertemu dengannya.” Batinku berkecamuk, berusaha meyakinkan diri bahwa
usahaku dalam menantinya kali ini tidak akan sia-sia seperti kemarin.
Sore ini, mentari tampak begitu lembut ketika kembali ke peraduannya.
Hawanya terasa sejuk, tidak terasa sengat mentari yang menusuk ataupun dingin
udara yang membekukan. Semoga ini memberikan pertanda baik dalam penantianku
kali ini. Aku kembali mengambil nafas sejenak dan mencoba merasakan hawa lembut
yang menyeruak ke dalam pori tubuhku. Kemudian aku menatap tajam ke daerah
persawahan yang berada di selatan rumahku, dan dengan mengambil langkah tegap,
aku bergegas menuju ke sana, ke tempat di mana aku akan menanti hadirnya.
Sebuah gubuk kecil yang terletak sekitar seratus meter dari utara sawah,
di sanalah aku terdiam menanti, karena aku pikir daerah persawahan inilah
sebuah tempat yang paling cocok untuk menyambut akan hadirnya di desa ini. Aku
mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru di sekitar persawahan, tampak begitu
sepi di daerah ini pada jam segini. Maklum, di daerah pedesaan pada sore hari
di bulan Ramadhan seperti sekarang ini, para orang dewasa sudah sibuk untuk
mempersiapkan waktu berbuka, dan yang sebagian orang dewasa lainnya beserta
anak-anak kecil kemungkinan sekarang sudah berada di masjid untuk ngabuburit
bersama. Sedangkan aku? Di sini, menantinya, sudah semenjak kemarin. Entahlah,
apa yang merasuk ke dalam pikiranku sehingga aku mau mengorbankan waktuku untuk
menantinya. Atau mungkin ini bisa dibilang caraku untuk ngabuburit di
penghujung bulan Ramadhan. Aku menatap sejenak perbekalan seadanya yang ku bawa
dari rumah. “Ngabuburit yah?” batinku berkata. Apakah hanya dengan
berdiam diri menantinya di waktu menjelang berbuka ini bisa dibilang sebagai
bentuk ngabuburit? Aku meragukannya. Tetapi… masa bodoh! Biarkan saja, aku tak
peduli, mau ini ngabuburit ataupun hanya sekadar berdiam dirinya orang gila
yang menantikan sesuatu yang belum pasti kedatangannya. Yah, apa peduliku,
walau belum pasti ia akan datang, tetapi justu karena itulah aku harus
memastikannya.
“Pukul 17.20.” Aku melihat sejenak arloji di pergelangan tangan kiriku.
Sudah hampir waktu berbuka, tetapi ia tidak jua menampakkan pancaran wujudnya.
Apakah hari ini ia tidak datang juga dan harus kembali ditunda besok hari? “Tidak,
tidak!!!” batinku begejolak, berusaha memantapkan hati. Kali ini ia pasti
datang, tidak salah lagi, bila kemarin ia tidak muncul, maka hari ini dapat
dipastikan bahwa ia akan datang, ia tidak mungkin terus-terusan membuatku
harap-harap cemas seperti ini tanpa ada kejelasan yang pasti. Batinku terus
menyemangati diriku sendiri, membuatku tetap setia menantinya di sini.
Aku menunggumu.
Di sini ku menantikan akan hadirmu.
Dalam kesendirian aku tetap setia menunggumu.
Engkau yang belum pasti datang menemuiku.
Tetapi di sinilah aku, menantimu.
Berharap cemas akan hadirmu.
Tegakah engkau seperti ini membiarkanku?
Dalam kegelisahan tak menentu.
Aku mohon datanglah walau sekadar tersenyum padaku.
Walau engkau harus pergi bersama awan setelah itu.
Aku hanya ingin sejenak melihatmu.
Di sini, menunggumu…
“Ayolah, ke mana engkau?” Hatiku semakin gusar, waktu berbuka
telah lewat semenjak beberapa menit yang lalu, tetapi masih belum ada
tanda-tanda akan kedatangannya. Tiba-tiba ponsel di sakuku berdering, sebuah
panggilan masuk dari ayah. Aku segera mengangkatnya.
“Nak, pulanglah.”
Deg!!!
Tiba-tiba jantungku berdegup. Kenapa tiba-tiba
ayah menyuruhku pulang. Apakah beliau tidak merestui tindakan gilaku yang
menantikan akan hadirnya? Sebenarnya sudah semenjak kemarin ayah tidak
mengizinkanku. Terngiang dalam benakku perkataan ayah kemarin, “Sudahlah nak,
ngapain juga kamu ini menunggu-nunggu yang tidak pasti itu. Sudahlah, di rumah
saja. Lagian juga ini masih 28 Ramadhan.”
Tetapi aku mengacuhkannya sambil menceletuk, “Siapa bilang kalau ini 28
Ramadhan. Sebagian golongan umat Muslim ada yang sudah berpuasa ke-29 kok.” Aku
masih dapat mengingat dengan baik perkataanku kemarin, dan saat itu aku
bergegas pergi tanpa menunggu kesepakatan dari ayah.
Suara tegas ayahku dari seberang telepon kembali terdengar untuk
melanjutkan ucapannya, “Para ahli maupun saksi sudah ada yang melihatnya, nak. Kau
tidak perlu menunggu lagi. Hilal sudah tampak di Cakung dan sekarang sidang Itsbat
berlangsung. Kau tidak perlu repot-repot menunggu di sana lagi, cepat
pulanglah. Kita tinggal menunggu hasil keputusannya dari siaran di televisi.”
“AHHH…” Aku menghembuskan nafas panjang. Ternyata sia-sia
penantianku. Padahal aku sangat ingin dapat melihat hilal dengan mata kepalaku
sendiri. Ternyata tidak bisa yah…
jleb....
ReplyDeleteselalu sedih kalau udah ditelepon ortu dan ditanya "kapan pulang?"
inti ceritanya bukan di situ sih...
Deletetapi, ya juga sih
Menunggu apakah ini? ramadhan terakhir ya sob?
ReplyDeleteiya, sob... :)
Delete