
“Siapa dia sebenarnya? Sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tetapi
kenapa aku tak ingat?” ucap Ferdi pada dirinya sendiri, setelah semalaman
pikirannya berkecamuk. Ia masih memikirkannya orang yang ditemuinya kemarin,
bahkan hingga sekarang, ketika ia tengah menempuh hari ketiga ujiannya. Dalam
pikirannya hanya terbesit sebuah pertanyaan utama yang tak terjawab, yakni
kenapa orang yang ia temui itu bisa mengenal kakaknya, bukan sebagai teman,
tetapi sebagai lawan. Dan lagi, bagaimana jika ia bertemu dengan pria itu lagi?
Pria itu berpesan agar ia memberitahu kakaknya untuk datang ke sebuah lapangan
desa kemarin sore, tetapi bagaimana ia dapat melakukannya? Hanya hal-hal itulah
yang sampai sekarang terpikirkan olehnya.
Seusai jam ujian berakhir, Ferdi segera melangkah cepat meninggalkan
sekolah. Bahkan saat temannya ada yang mengajaknya untuk belajar atau yang
lainnya, Ferdi segera menolaknya dan tak membuang-buang waktunya.
Ferdi melewati jalan raya dengan cepat. Hingga ia mencapai lorong-lorong
yang sempit, ia segera berlari seperti ingin sesegera mungkin sampai ke tempat
tujuannya.
Bel rumah Epsa berbunyi, untuk beberapa lama, pintu rumah Epsa tak juga
kunjung terbuka. Ferdi beberapa kali membunyikan bel, tetapi tak segera juga
terbuka. Ferdi berpikir sejenak, ‘apa yang terjadi?’ Tidak seperti biasa, Ferdi
harus menunggu di depan pintu dalam waktu lebih dari lima menit. Padahal
biasanya pintu akan segera terbuka tanpa perlu lima menit menunggu. Tetapi kali
ini?
Baru saja Ferdi termenung dan berpikir sebaiknya dia kembali, namun
tiba-tiba pintu rumah Epsa terbuka. Ferdi merasa senang melihatnya, ia berharap
Epsa keluar dari pintu rumah itu dan menceritakan padanya perihal kakaknya yang
belum ia ketahui, tentang siapa yang membenci dan memusuhi kakaknya serta
berbagai perihal yang memiliki sangkut-paut. Atau Knight dan Stealth dapat
menjelaskan segala sesuatunya dengan lebih jelas, mengenai kemungkinan adanya
musuh lain dari dunia mereka yang memiliki dendam pada kakaknya.
Tetapi, semuanya tidak seperti yang Ferdi harapkan, ia menatap sosok
yang baru saja keluar dari pintu. Sosok itu adalah sosok yang Ferdi kenal
betul, tetapi bukanlah sosok Epsa yang seperti ia harapkan, juga bukan sosok Knight
ataupun Stealth. Sosok yang baru saja keluar itu berkata, “Oh, nak Ferdi. Ada
apa siang-siang begini datang ke sini?”
Ferdi lekas menjawab, “Kak Epsa-nya ada?” Pikir Ferdi hal ini bukanlah
masalah, karena yang keluar merupakan seorang pembantu di rumah Epsa. Tinggal
menyuruh pembantu itu memanggil Epsa, dan semua akan seperti yang ia inginkan,
pikir Ferdi.
“Oh, maaf nak. Den Epsa lagi keluar. Tadi bibi melihat beliau keluar
menggunakan mobil bersama dua orang temannya.” Ucap pembantu itu.
Ferdi berpikir sejenak, ‘Dengan dua orang teman? Berarti dengan Knight
dan Stealth. Ke manakah mereka pergi? Apa mereka sudah menemukan suatu
petunjuk?’
Pembantu itu yang melihat Ferdi hanya terdiam segera mempersilakan
masuk, “Oh, nak Ferdi mau main ke dalam? Silahkan masuk nak.”
Ferdi segera tersadar, kemudian berkata, “Tidak, terima kasih, bi. Saya
pulang dulu saja. Lain kali saja mampir lagi.”
“Oh, begitu, nak. Tidak apa-apa ini? Maaf Sebelumnya.”
“Tidak masalah, bi. Saya pulang dulu.”
Ferdi segera melangkah pergi meninggalkan rumah Epsa dan kembali menuju
rumah tempat kediamannya.
Sesampainya di rumah, Ferdi segera menaiki tangga menuju kamarnya dan
berbaring sejenak. Kemudian ia berpikir kembali, kemanakah mereka pergi?
Sejenak ia berbaring termenung, hingga rasa kantuk menguasainya.
Sore harinya, Ferdi terbangun dari keterlelapannya. Ia kembali tersadar, dan mulai menggerakkan
kepalanya saat masih terbaring. Angannya masih melayang, ia berusaha
menyadarkan diri, dan menatap sebuah benda di atas meja di sebelah tempat ia
tertidur. Sebuah benda berbentuk Kristal bola yang berpendar biru, yang disebut
dengan legendary orb. Dan dia dapat menatap dengan jelas sebuah benda selain
orb itu, sebuah telepon genggam tergeletak di sana. Benar juga. ia segera
tersadar dan terduduk. Benar, bukankah ia bisa menghubungi kak Epsa dengan
ponsel itu. Kemudian bertanya segala sesuatu yang tertanam dan mengganjal di pikirannya
itu.
Beberapa kali Ferdi mencoba untuk menghubungi Epsa, tetapi tidak ada
satupun panggilan yang diterima. ‘Apakah mereka sedang benar-benar sibuk
sekarang ini? Apakah mereka sudah membuat rencana penangkapan atau malah sudah
menangkap Robert? Tanpa aku?’ Pikir Ferdi.
*****
Keesokan harinya, seusai Ferdi menghadapi ujian seperti biasanya,
semuanya masih terasa seperti kehidupan biasa baginya. Namun, masih ada pikiran
yang berkecamuk di otaknya, tentang rahasia kakaknya sebenarnya. Memang,
setelah pertemuannya dengan Knight dan Stealth telah memberikan penerangan mengenai
perihal misteri kematian kakaknya. Tetapi, ada hal lain yang di pikirannya,
Billy, pria yang ia temui. Siapa dia sebenarnya? Apakah dia juga manusia?
Lantas kenapa dia sangat ingin melawan kakaknya seperti seorang musuh? Apa yang
sebenarnya terjadi?
Pertanyaan demi pertanyaan yang tak terjawab terus terbayang dalam benak
Ferdi. Ia hanya merasa bingung tak mengerti. Ferdi berusaha melangkah
meninggalkan sekolahnya, walau dengan raut muka bingung. Tetapi, baru saja
beberapa langkah dari sekolah, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya. Ferdi
terkejut dan menoleh ke suara yang memanggilnya, yang ternyata adalah Putri,
teman sekelasnya. “Oh, ku kira siapa, ada apa?” balas Ferdi segera.
“Dicariin teman-teman tuh. Biasanya kan belajar sekilas untuk ujian
besok, kok tiba-tiba menghilang begitu saja?”
“Haha…. Maaf, lagi bad mood.”
“Hiyye, apa enggak ada alasan lain napa?”
“Hehe, lagi banyak pikiran nih, ingin langsung pulang deh.”
“Oh, ya deh, pulang yuk.”
“Eh, mau langsung pulang juga?”
“Yah… biarlah, belajar sendiri di rumah juga bisa. Kau juga sudah
siapkan untuk dua hari terakhir ini?”
“Yah… selalu siap. Tapi jangan dibilang terakhir juga, masih ada
semester terakhir bukan sebelum kita akan benar-benar lulus di masa SMP ini?”
“Uh, benar juga, bakalan jadi hari-hari yang sulit untuk anak-anak kelas
tiga nih.”
‘Hari-hari yang sulit?’ Ferdi membatin, ‘Ya, akhir-akhir ini
menjadi hari-hari yang sungguh sulit bagiku, banyak hal yang harus ku pikirkan
dan ku lakukan. Huh…’
Kemudian Putri melanjutkan pembicaraan dengan pertanyaan, “Sudah ada
rencana untuk masuk SMA mana?”
“Ah, entahlah. Sama sekali belum terpikirkan. Lagipula, masih ada
setengah tahun lagi, aku sama sekali belum berpikir sampai ke sana.”
Ferdi yang sebelumnya berniat untuk meninggalkan sekolah dengan sesegera
mungkin, akhirnya pun harus berjalan pulang dengan santai ditemani Putri. Perjalanan
pulang itu diiringi dengan pembicaraan panjang-lebar membahas apapun yang bisa
dibahas. Tetapi, dalam benak Ferdi, pikirannya masih mengambang entah ke mana.
Masih ada sesuatu yang mengganjal pikirannya. Kemanakah mereka pergi?
Di tengah perjalanan mereka, tiba-tiba perkataan Putri mengejutkan Ferdi,
“Eh, Fer! Kok kamu kayaknya dari kemarin kelihatan aneh begitu? Seperti
bingung, atau kau lagi tidak enak badan?”
“Eh, eh, bukan apa-apa kok.” Ferdi yang mendengar hal itu segera
menjawab terkejut. “Ya, cuma masalah kecil kok. Mungkin juga sedikit kurang
enak badan.”
“Benaran nih enggak ada apa-apa?”
“Ehm… Iya!” jawab Ferdi berbohong.
“Kok kayak enggak meyakinkan begitu jawabannya.”
“Benaran kok. Mungkin perasaanmu saja sih.”
“Oh, apakah ada masalah dengan masa sekolah selama ini? Atau kau
bermasalah dengan ujian ini? Ataukah… ehm…”
“Eh, bukan, bukan masalah seperti itu kok.” Kemudian Ferdi menjawab
dalam batin, ‘Jelas bukan masalah semacam itu.’
Ferdi mengamati sekeliling, ia berpikir sejenak, harus ke manakah ia
sekarang? Apakah harus kembali mencoba untuk menemui Epsa untuk mencari
kejelasan semua ini. Dan sepertinya Ferdi juga mampu merasakan ada sesuatu yang
terjadi pada Epsa dan yang lainnya, ada sesuatu yang tak beres sedang atau akan
terjadi. Ataukah… Tiba-tiba Ferdi berpikir, ‘ah, benar juga, bukankah dia
sudah berjanji untuk tidak mempersoalkan masalah aneh ini selama seminggu ini,
untuk berfokus terlebih dahulu dalam ujiannya?’
“Eh, Fer!”
Tiba-tiba sebuah panggilan dari Putri kembali mengejutkannya. “Ah, iya.”
“Tuh, kan. Akhir-akhir ini kamu memang aneh. Sering melamun begitu.”
“Ah, enggak kok. Sudah ah, jalanmu masih lurus, kan? Aku mau berbelok ke
suatu tempat dulu nih. Sudah ya!”
“Tuh, aneh.”
Ferdi segera berlari meninggalkan Putri tanpa memedulikan anggapan cewek
itu lebih jauh lagi, sedangkan Putri hanya terdiam di tempat menatapnya yang
dengan anehnya pergi begitu saja. Ferdi berbalik sesaat untuk tersenyum ke arah
Putri, berusaha kembali bersikap biasa, sikap biasa seperti anak-anak remaja
pada umumnya. Dan perasaan aneh yang menyelubunginya, ia pendam sedemikian rupa,
tidak ingin ada orang lain lagi yang menyadari akan ada sesuatu yang mengganjal
dalam dirinya. Semuanya harus menjadi biasa, pikir Ferdi. Setidaknya untuk
sementara waktu ini.
selamat malam
ReplyDeleteterus menulis ya :)
masih bersambung niy
yah... makasih... ^_^
Deletetenang ja, nih cerita masih panjanggg... ^_^