Monday, 4 March 2013 - , 7 comments

SALAH APAKAH AKU?

Alunan rambut lembutnya menjuntai indah saat ia menyingkapkan rambutnya yang mulai menutupi wajahnya. Pancaran indah wajah yang telah lama ku harapkan pertemuannya membuaikan anganku dalam kecantikan yang akan selalu ku ingat. Wanita yang telah lama merasuk dalam benakku dan terus-menerus menanyai ambang pikirku, hingga membuatku ingin mencari keberadaannya, kini telah tepat dihadapanku. Tetapi, rasa rindu yang telah menggumpal padat di dalam hati ini hanya mampu ku lampiaskan dengan menatap paras cantiknya. Walau sudah sejak lama aku penasaran dengan sosok cantik yang ku inginkan pertemuannya itu, tetapi aku tidak bisa berkata apa. Sesungguhnya ingin aku berucap dan memanggilnya dengan segenap cinta dalam hati. Tetapi, ku hanya mampu terdiam membisu menatapnya yang dikelilingi oleh banyak wartawan yang berkumpul. Ya, dia adalah…
*****

Aku berlari tergesa menuju sekolah. Ini sudah setengah tujuh lewat. Ah, mati aku, aku bisa terlambat. Eh, tetapi bukankah ini sudah biasa bagiku? Ya, tiap hari pun aku selalu berlari tergesa menuju sekolah dan terlambat. Karena memang, banyak hal yang harus ku lakukan terlebih dahulu sebelum berangkat sekolah, sehingga beginilah jadinya, aku selalu tergesa-gesa untuk menuju sekolah, dan tak jarang pula ada sesuatu yang ketinggalah hanya karena ketergesaanku. Ah, iya, lagi-lagi, aku lupa, gorengannya belum ku bawa. Aku segera memutar langkah lariku untuk kembali dulu.
Nafasku terengah-engah. Fyuh…. Untung saja, walau bel masuk sekolah telah berdering, tetapi sepertinya belum ada guru BK yang standby di depan gerbang sekolah. Aku segera menyelinap masuk menuju lorong sekolah, dan fyuh…. selamat, tidak ada yang tahu. Aku melangkahkan kakiku di sepanjang lorong sekolah menuju ke kelasku, dengan menenteng sebuah keranjang penuh dengan gorengan. Ya, gorengan yang akan ku jajakan di sebuah sekolah swasta menengah pertama yang merupakan tempat bagiku untuk menimba ilmu sekarang ini. Memang tiap hari aku harus berjualan seperti ini, termasuk di sekolah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sekaligus untuk tambahan uang jajan bagiku. Aku tidak malu untuk berjualan seperti ini walau dengan usiaku yang tergolong masih belia ini. Lagipula, untuk apa aku malu? Kalaupun aku malu, pasti aku sudah lebih malu dengan kondisiku yang….
“Hey, Andre!” Tiba-tiba aku terkejut dengan suara yang memanggilku dari arah belakang. Aku segera menoleh ke sumber suara itu, fyuh…. ternyata Fina, teman sekelasku yang datang dari arah toilet. Aku hanya mampu tersenyum membalas sapaan darinya. Kemudian ia langsung berkata kembali, “Seperti biasa ya, kamu ini selalu saja terlambat seperti ini. Tuh… keringatmu kelihatan banget tuh.” Aku kembali tersenyum menjawab tegurannya. Ia kembali berkata dengan melihat keranjang yang ku bawa, “Sepertinya kamu sudah keberatan tuh. Mau ku bawakan?” Kali ini aku hanya menggeleng menjawab tawarannya.
Kelas VIII B sudah terlihat di depanku, aku dan Fina pun memasuki kelas yang menjadi kelas favorit kami, sebuah kelas yang menurutku berisikan murid-murid baik berjiwa besar. Dan pelajaran pun segera berlangsung.
Aku mengangkat tangan saat seorang guru matematika yang sedang mengajar memberikan sebuah pertanyaan. Bu Rini lekas mengizinkanku untuk maju dan menyampaikan apa yang dalam balik otakku. Aku menjawab pertanyaan bu Rini dengan beberapa goresan di papan dan segera kembali duduk. “Baiklah, terima kasih, Andre.” Ucap bu Rini padaku.
Sepulang sekolah salah seorang temanku bernama Rudi memanggilku, “Hey Andre, di tempatmu enggak ada acara kan di hari minggu besok ini? Main-main ke rumahku dong, sekalian mengerjakan tugas yang diberikan bu Rini tadi, kayaknya kamu sudah paham dengan bab itu tadi deh, aku masih bingung. Ku siapkan banyak camilan deh...”
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Fina ikut menyahut, “Ah, aku juga datang ya? Aku juga masih bingung, kalau dikerjakan bersama pasti lebih mudah, ya kan Ndre? Hehe..”
Aku segera mengambil sebuah kertas dan bolpoin, kemudian menuliskan sesuatu di atas kertas tersebut dan menunjukkan pada mereka, ‘InsyaAllah aku luangkan. Sepertinya besok jam 9 pagi yayasan sudah tidak acara.’
“Siippp… oke deh… besok yah?” ucap Fina memastikan, dan aku hanya mengangguk.
Aku memang tidaklah pintar, dan belum sekalipun mendapat ranking satu di kelas, tetapi nilaiku cukup bagus di pelajaran matematika dan setidaknya aku selalu masuk sepuluh besar serta selalu berusaha sekuat tenaga untuk mampu meraih ranking satu. Apakah itu cukup? Apakah ia akan bangga padaku? Dengan kondisiku ini? Pikirku sejenak.
Ya, seperti itulah kehidupanku, tidak jauh berbeda dengan remaja seusiaku. Hanya saja, aku sudah harus mulai berjualan kecil-kecilan untuk memberikan uang jajan tambahan, karena yayasan panti asuhan hanya memberikanku kebutuhan-kebutuhan pokok saja, dan akan sangat beruntung saat ada seorang dermawan yang datang. Panti asuhan? Ya, aku sekarang ini tinggal di sebuah panti asuhan sejak aku kecil, dan bahkan hingga sekarang aku tidak tahu siapa orang tuaku. Tetapi aku cukup menikmati kehidupanku sekarang ini, teman-teman satu yayasan ataupun satu sekolahan yang telah begitu baik padaku walaupun dengan kondisiku yang kekurangan semacam ini. Ya, aku bisu sejak kecil, aku tidak bisa berbicara dengan teman-temanku, kecuali dengan goresan di atas kertas. Tetapi aku tetap bisa hidup bahagia, dengan teman-teman yang begitu peduli padaku, walau ada suatu hal yang mengganjal hatiku.
Suatu hal yang begitu mengganjal hatiku, siapakah orang tuaku? Aku sangat ingin bertemu dengan mereka, dan bertanya banyak hal pada mereka. Pak Rizal, pengasuh panti, pernah mengatakan padaku bahwa dahulu ada seorang wanita belia berumur hampir sekitar 20 tahunan datang ke panti tempat tinggalku itu untuk menyerahkannya seorang bayi kecil yang tidaklah lain adalah aku. Gadis itu mengatakan bahwa ia hanya akan menitipkan anaknya tersebut tidak lebih dari sebulan, dan akan kembali bersama ayah dari bayi itu. Tetapi… Hingga kini janji itu tidaklah pernah hadir. Sesosok wanita yang ku tunggu-tunggu kedatangannya, hingga kinipun tidak pernah menunjukkan batang hidungnya.
Tahun lalu, Pak Rizal juga telah memberikanku sebuah foto gadis itu dengan sebuah alamat yang tertera di belakang foto yang diberikan oleh gadis itu sebagai jaminan bahwa ia akan datang kembali untuk mengambil bayinya. Tetapi, lima bulan setelah wanita itu menitipkanku, Pak Rizal mencoba untuk mencari alamat yang tertera. Tetapi ternyata, alamat yang diberikan itu adalah sebuah kos-kosan, dan sosok wanita itu juga tidak ditemukan. Dan tahun lalu aku juga sudah mencoba membuktikan alamat yang tertera itu, dan benar, hasilnya nihil. Kini, ku hanya bisa menyimpan foto itu baik-baik dengan berharap ia akan kembali menemuiku dan merawatku dengan penuh rasa cinta selayaknya kasih sayang orang tua pada anaknya.
*****

Secara tidak sengaja aku menemukan sebuah selebaran di rumah Rudi saat aku sedang asyiknya memainkan bolpoinku di atas buku tugas matematika. Aku terdiam sejenak, menatap selebaran itu dengan pasti. Rudi yang melihatku terdiam tiba-tiba saat sedang mengerjakan tugas itu, segera bertanya, “Ada apa? Ada yang salah?”
Aku membalikkan lembaran buku tugasku ke halaman paling belakang, dan menuliskan, ‘Selebaran apa yang tergeletak di atas laci itu?” Kemudian aku menunjuk ke arah selebaran yang ku maksud. Rudi lekas bangkit dan mengambil selebaran itu. Kemudian ia bertanya penasaran padaku, “Memangnya kenapa?” Aku hanya menggeleng menjawabnya. Rudi kembali berkata seraya menyerahkan selebaran itu padaku, “Ini hanya selebaran mengenai konser dangdut yang akan diadakan di kampung kita nanti malam. Cuma artis-artis local dari ibukota yang mengadakan konser di sini kok. Kayaknya sih enggak seberapa terkenal. Eh, kenapa? Memangnya kamu mau melihat kenapa?”
Aku kembali menuliskan sesuatu di atas kertas, ‘Enggak kok, cuma tanya saja.’ Lalu aku menatapi selebaran itu dengan seksama untuk beberapa saat. Terlihat salah seorang wanita berumur lebih dari 30 tahunan di selebaran itu menarik perhatianku, sepertinya wajah itu pernah ku lihat sebelumnya…
Aku melangkah pulang di teriknya minggu siang, aku mengingat kembali wajah yang sepertinya tidak asing di selebaran yang ku lihat tadi. Benar, foto yang diberikan pak Rizal setahun yang lalu, mungkin dandanannya tampak jauh berbeda, tetapi… ya tidak salah lagi. Aku selalu mencoba untuk mengingat betul wajah itu dan tak ingin melupakannya…
Tiba-tiba terdengar suara keramaian di salah satu sudut jalan. Aku mencoba untuk memastikan asal suara tersebut. Terlihat sebuah mobil berhenti di depan sana dengan di kerumuni oleh banyak wartawan dan beberapa warga. Sesosok wanita muncul dari balik mobil mewah itu seraya menyingkapkan alunan rambut lembutnya yang mulai menutupi wajahnya. Pancaran indah wajah yang telah lama ku harapkan pertemuannya membuaikan anganku dalam kecantikannya. Wanita yang telah lama merasuk dalam benakku dan terus-menerus menanyai ambang pikirku, hingga membuatku ingin mencari keberadaannya, kini telah tepat dihadapanku. Rasa rindu akan pertemuan padanya yang sesungguhnya sangat ingin ku lampiaskan dengan berteriak segenap tenaga, tetapi apa daya, aku tidak bisa berkata apa. Kini, ku hanya mampu terdiam membisu menatapnya yang dikelilingi oleh banyak wartawan yang berkumpul.
Jutaan pertanyaan muncul beriringan dalam benakku saat dia mulai berlalu pergi menjauhi ambang batas penglihatanku. Dia… diakah ibuku? Sesosok wanita yang ku harapkan kehadirannya, yang telah lama ku ingin bertemu dan mencarinya. Tetapi kenapa? Ia memberikanku kepada sebuah yayasan panti asuhan dan juga tak pernah kembali untuk menemuiku? Apakah ia tak mengharapkan kehadiranku? Apakah ia tak mencintaiku layaknya orang tua mencintai anaknya? Apakah karena ia tahu dan malu dengan kondisiku yang hanya mampu terdiam bisu ini? Ataukah… ah.. karena apa? Aku sungguh tak mengerti, Salah Apakah Aku?

Pesan:
Bersyukurlah bagi kita yang memiliki ibu (ortu) yang begitu perhatian dan baik kepada kalian, karena di luar sana masih banyak anak-anak yang tidak seberuntung/ sebahagia kehidupan kita. Seketat, segalak, ataupun seperti apapun ibu kita selalu memerintah dan mengatur kita, itu tidak lain adalah demi kebaikan kita. So, jangan sia-siakan kasih sayang dan cinta ibu kita kepada kita, balaslah budi dan cinta mereka kepada kita, cintailah balik mereka seperti mereka menyayangi kita....


7 Blogger-Comments
Tweets
FB-Comments

7 comments:

  1. selingan sebentar yah...
    sebelum melanjutkan cerita Cermin Dua Muara

    yah... biar isinya gak fantasy mulu..
    terlebih karena alamat blogku yg .com telah kembali ke alamat normalnya...

    ReplyDelete
  2. keren tulisannya asli..

    _________________
    Blog dengan segala isi yang akan membuat hari-hari mu tidak bosan, stay enjoy, keep smile. Go to http://sdftyujklvbn.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya..
      terimakasih atas kunjungannya...

      Delete
  3. Waaa ada cerpen., kebetulan lagi suka baca2 cerpen. Semangat menulis ya (^_^)/

    ReplyDelete
    Replies
    1. oke...
      siiippp...
      semangat juga...
      \(^_^)/

      Delete
  4. Ane kayakny harus bilang Woow sambil HArlem Shake nih bro abis baca tulisannya...
    Btw, gambar ilustrasinya pake apa masbro ? buat sendiri ta ?

    -mechanicalengboy.wordpress.com-

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe....
      gak usah berlebihan... ^_^

      ilustrasinya buat sendiri???
      hehe....
      ya enggaklah...
      mana ada waktu selama itu utk membuat ilustrasi ini dari awal..
      cuma ambil dari google terus saya edit sedikit utk penyesuaian...

      Delete

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^