Sunday, 13 January 2013 - , 2 comments

CERMIN DUA MUARA part III – Pertemuan Tanpa Tatapan

Siang hari di sebuah gudang tua di utara Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, gudang bekas milik tentara Belanda yang sudah lama ditinggalkan, tak pernah ada aktivitas ataupun tanda-tanda kehidupan, berseberang jauh dibandingkan tempat yang selalu ramai di selatannya. Namun kini, tampak ada sesuatu di tempat itu. Tampak terlihat beberapa tubuh manusia dengan wajah pucat, mata melotot, dan tubuh-tubuh yang kering tak berisi berserakan di sana. Seperti telah terjadi sesuatu yang mengenaskan. Di antara tubuh-tubuh tak berisi itu, tampak ada seseorang yang duduk di atas kotak rapuh penuh debu dengan kedua kaki merenggang dan tangan mengusap mulutnya seakan selesai menikmati makan siangnya. Pria itu adalah Robert, tetapi kini, terlihat tubuhnya telah kembali gagah dan tegap, dengan masih menggunakan pakaian coklat khas seperti seragam prajurit.
“Jih… ini menyusahkan.” Ucap Robert. “Aku harus setiap saat menghisap energi dari tubuh seseorang untuk mempertahankan kekuatan tubuhku.”
“Itu adalah resiko, karena kau telah menggunakan life-stone.” Sahut Lietro yang telah sejak tadi berdiri di sebelah kanan Robert.
“Yah… karena itu juga aku dapat bangkit kembali.”
”Tetapi dengan begitu kau akan menjadi ketergantungan dengan orang lain.”
”Fuh... maka dari itu aku butuh benda itu,” jawab Robert. ”maka dari itu aku datang ke dunia manusia lagi.”
Tak lama kemudian, Robert segera beranjak dari tempatnya.
”Hendak ke mana?” tanya Lietro.
”Aku akan mencari informasi, sekaligus mengumpulkan prajurit manusia. Itu lebih baik daripada pasukan liteirin.”
*****

Keesokan sorenya, di sebuah lapangan di desa yang berjarak beberapa meter ke barat dari jalan arteri kota Seberida, anak-anak usia remaja sedang bermain sepak bola dengan senangnya. Mereka asyik fokus dalam permainan tanpa memperhatikan ke sekeliling mereka. Pada jarak sekitar 15 meter dari tempat itu, dua orang sedang duduk beristirahat di atas pohon. Salah seorang di antara mereka melihat para manusia yang bermain sepak bola itu dengan seksama, tetapi tiba-tiba ia berkata, ”Sebenarnya makhluk seperti apa yang kita kejar hingga dunia manusia ini.” Salah seorang itu adalah Knight yang berbicara sembari tetap menyaksikan para manusia bermain. ”Jika seperti yang kau katakan, bahwa hanya orang tertentu yang dapat menembus gerbang manusia. Artinya makhluk yang kita kejar ini cukup hebat.”
”Kita akan sebisa mungkin menangkap seorang manusia bernama Robert, tetapi jika terdesak, kita bisa menghabisinya.” Jawab Stealth.
”Hah? Apa? Tunggu... Manusia? Apa aku tak salah dengar?” Ucap Knight terkejut. ”Kita ke sini hanya untuk menangkap manusia. Bukankah itu urusan manusia. Untuk apa kita ikut campur. Buang-buang waktu saja.”
”Huh... kau pasti tidak mendengar briefing dengan seksama.” jawab Stealth sembari menghela nafas. ”Robert. Dia bukanlah manusia sembarangan, bukan hanya mampu menembus gerbang dimensi, tetapi ia juga mampu membuka gerbang dimensi. Dan dialah penyebab utama kerusakan jalan penghubung lima tahun silam.”
”Tunggu... jangan-jangan dia yang ....”
”Bukan,” potong Stealth. ”bukan dia yang membunuh Captain. Tetapi anak buahnya.”
”Sama saja.” Sergah Knight. ”Tetap saja, gara-gara dia kakak terbunuh. Aku akan menghabisinya segera. Ayo kita harus segera mencarinya. Tak ada gunanya berdiam diri saja.” Ucap Knight marah, yang kemudian segera bangkit di atas dahan pohon.
”Tenangkan dirimu, Knight!” nasihat Stealth dengan suara tegas. ”Kita di sini untuk menjalankan misi, bukan balas dendam. Ingat salah satu prinsip Gunryou.”
”Menghadapi berbagai masalah dengan pikiran jernih?” jawab Knight dengan nada sedikit bertanya.
”Tak ada gunanya marah dan balas dendam. Itu takkan menyelesaikan apapun. Kita berangkat setelah kau bisa mengatur emosimu.”
”Hah... baiklah. Sepertinya ini takkan sulit. Hanya perlu menghadapi manusia.”
”Bukan, tetapi sekarang dia bukan lagi manusia.”
”Apa?” tanya Knight heran, ”apa maksudmu?”
”Fyuh.... sepertinya kau benar-benar tak mendengarkan.” jawab Stealth.
”Hehe....”
”Robert memang dulunya adalah manusia,” lanjut Steatlh, ”tetapi dia telah tewas lima tahun lalu saat kehancuran dark-sanctum melahap jalan penghubung. Namun, sebelum kematiannya, ia telah menanamkan kekuatannya di dalam life-stone. Kini, seseorang yang berasal dari dunia liteirin, entah siapa, yang juga memiliki keterkaitan dengan kejadian dulu, membangkitkan kemampuan life-stone dan membuat Robert hidup kembali. Tetapi tetap, ia bukanlah lagi makhluk hidup, bukan lagi manusia, dan juga tentu bukan liteirin. Ia tidaklah lebih seperti benda mati yang dapat bergerak. Tubuhnya yang sekarang begitu rapuh.”
”Oh, jadi, ada dari golongan liteirin yang terlibat juga. Pantas saja.”
”Bukan. Belum tentu. Kita belum bisa memastikan bahwa yang satunya adalah literin, karena belum pernah bertemu dengannya.”
”Tetapi yang pasti, Robert hanyalah urusan mudah, dengan tubuhnya yang rapuh itu. Kita hanya perlu mewaspadai yang satunya saja, bukan?” tanya Knight kembali.
”Mungkin. Dengan tubuhnya yang sekarang, Robert harus senantiasa menyerap kekuatan kehidupan makhluk hidup lain untuk membuatnya dapat terus bangkit dengan tubuh matinya itu. Namun, ada suatu benda yang dapat membuatnya menjadi lebih kuat, dan ada kemungkinan akan menghilangkan efek samping dari life-stone.”
”Dan benda itu berada di dunia manusia, bukan?”
”Ya, untuk itu Robert kembali ke dunia manusia.”
Tiba-tiba suara teriakan anak-anak yang bermain sepak bola terdengar jelas di telinga mereka. ”GOOAALLL!!!” suara teriakan menggemuruh di lapangan desa itu. Sahut-menyahut anak-anak remaja kian menyelimuti. Terdengar pula suara salah seorang anak yang berkata, ”Ah, kau Ferdi! Melamun saja sih.” Ferdi terdiam untuk sesaat, kemudian dia tersadar bahwa temannya sedang berbicara padanya dan berkata, ”Ah, kurasa dari tadi ada yang memperhatikan kita.”
”Apa saja kau ini.” ucap temannya, namun Ferdi terus menatap ke arah sebuah pohon besar di sebelah lapangan. Knight dan Stealth yang sadar bahwa keberadaan mereka telah disadari, segera beranjak pergi sebelum keberadaan mereka disadari lebih banyak manusia.
”Baiklah, teman-teman, kita pulang saja sekarang, ini sudah terlalu sore.” ucap salah seorang dari mereka. ”Ayo, Ferdi, jangan melamun saja.”
”Ah, baiklah.” Ferdi segera mengalihkan pandangannya dan dia mencoba untuk membuang firasat anehnya.
*****

Robert melangkahkan kaki di jalanan setapak, tepat saat anak-anak remaja berlarian meninggalkan lapangan seusai bermain sepak bola. Beberapa di antara mereka menatap dengan pandangan aneh ke pria setengah baya yang bertubuh tegap itu. Tetapi Robert terus berjalan cepat tanpa mempedulikan anak-anak itu. Ferdi yang berlari sambil menggiring bola berpapasan dengan Robert, tanpa ada saling peduli diantara mereka. Ferdi sesekali mengoper bola ke temannya dan juga menerima bola dari arah temannya. Hingga mereka melewati sebuah jembatan yang tak memungkinkan bagi mereka untuk menggiring bola. Salah seorang dari mereka segera memegang bola dan melewati jembatan itu satu persatu.

2 Blogger-Comments
Tweets
FB-Comments

2 comments:

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^