Sunday, 25 November 2012 - , , 2 comments

PELANGI DI WAJAHMU (aku melihatnya)

Klik gambar untuk episode sebelumnya

Reno tiba sekembalinya dari tengah kota, ia membuka pintu rumahnya perlahan, dan tiba-tiba muncul perasaan heran dan mengganjal. Ada sesuatu yang tidak beres di sana. Reno bergegas memasuki rumahnya dan menuju kamar yang menjadi tempat di mana setidaknya ibunya terbaring saat ia meninggalkan rumahnya dalam keadaan terbuka.
Reno terkejut tiada tara saat masuk ke dalam kamar. Tak tampak ada sesosok wanita yang begitu ia cinta di sana. Reno panik tiada terungkap. Ia segera berlari menabraki benda apapun yang tergeletak di atas lantai. Ia tidak peduli, ia tetap saja menyusuri sekujur isi rumahnya. Tetapi tidak juga tampak sesosok yang ia cari.
Reno benar-benar bingung. Rumah yang sudah mulai tampak seperti kapal pecah akibat tingkahnya tidak juga ia pedulikan. Ia segera berlari keluar rumahnya, menatap ke sekeliling dan hendak bertanya pada rumput yang bergoyang. Ya, suasana saat itu sepi. Tentu saja. Rumahnya yang cukup berjarak di antara tetangganya ditambah pergaulannya yang tidak begitu akrab dengan tetangganya. Apa yang harus ia lakukan? Bertanya pada tetangga? Apakah ia harus? Punya keberaniankah ia untuk itu? Bertanya dengan seseorang yang tidak begitu ia kenal dekat? Atau nanti malah hanya akan menjadi bahan pelampiasan tawa, karena jika ternyata ibu yang ia cari hingga panik dan bingung, berada di WC rumahnya. Tetapi ia sudah memeriksanya dan tidak ada. Atau mungkin di tempat sepele lainnya? Ia tidak mau mengambil tindakan tergesa dan ceroboh lagi, ia tidak mau malu lagi. Reno berusaha menenangkan diri sejenak. Dan hanya bisa bertanya pada rumput yang bergoyang atau batu yang hening seribu kata.
Pikiran Reno kalut, tetapi ia berusaha menenangkan diri. Sejenak ia duduk di depan rumahnya, merenungkan diri untuk sejenak. Hingga suara kendaraan bermotor mengusiknya. Jarang-jarang terdengar sebuah suara kendaraan bermotor di rumahnya. Ia menatap lurus ke arah sumber suara. Seorang pengendara sepeda motor datang menghampirinya.
“Reno, naiklah, cepat! Ibumu sakit, sekarang dirawat di rumah sakit.” Heri segera menyambar dengan perkataan.
“HAH!!!” tak ada jawaban yang mampu diungkapkan oleh Reno selain kata itu. Ia bingung, benar-benar bingung, dan hanya bisa melongo.
“Cepatlah! Ibumu sakit.” Heri mengulang perkataannya, tetapi tak juga Reno beranjak. Gereget Heri menanti gerak-gerik Reno yang membisu, Heri segera turun dari sepeda motornya dan menarik Reno untuk ikut bergabung.
*****

Semuanya berjalan dengan baik-baik saja, setidaknya untuk hari minggu itu, hingga di sore harinya. Reno bisa kembali pulang ke rumah bersama ibunya, dengan ditemani Alfin, Heri, dan Fika. Tetapi sungguh, sebenarnya Reno bingung dengan apa yang terjadi, bagaimana bisa ketiga temannya itu datang ke gubuk reyotnya dan menolong ibunya yang sedang jatuh sakit itu? Padahal sebelumnya, belum ada yang pernah datang berkunjung ke tempat, terlebih teman sekolahannya, terlebih lagi Alfin?
“Umm…” ucap Reno berusaha membuka pembicaraan, sesampainya di rumah dengan ditemani ketiga teman satu sekolah di ruang tamu, setelah ia mengistirahatkan ibunya di kamar. “Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa kalian datang kemari dan menolong ibuku?”
“Kami hanya kebetulan mampir ke sini.” Ucap Alfin sedikit berbohong.
“Tetapi…” ucap Reno ragu.
“Sudah sewajarnya bukan seorang teman datang bermain ke rumah temannya?”
Reno tersentak kaget. ‘Teman?’ Baru kali ini ada seseorang yang mengakuinya sebagai teman. Reno tak dapat berkata apa lagi, kemudian ia hanya berucap, “Te.. Terima kasih…”
“Tak perlu kau berterimakasih, seharusnya kami berdualah yang berterimakasih kepadamu yang telah membebaskan kami dari jeratan hukum pidana.”
“Eh? Bagaimana kalian tahu?”
“Aku melihatnya.”
 “EH?”
Alfin sedikit tertawa pelan, kemudian berucap, “Sebenarnya, awalnya aku hanya menebak, tetapi ternyata memang kau.”
Heri pun ikut menimpali, “Kau memanglah seorang yang baik, Reno. Hanya kami sajalah yang tidak menyadari itu.”
“Ya, karena kau unik.” Sahut Alfin kembali. “Kau selalu berusaha bersikap jujur, walau di sekitarmu berlaku curang. Kau selalu berusaha berbuat baik pada seseorang, walau seringkali banyak yang tak menghiraukan kebaikanmu. Kau mungkin buruk dalam pelajaran perhitungan, tetapi kau memiliki suatu bakat alami yang indah yang tidak dimiliki orang lain. Bahkan, kau memiliki banyak sikap kepribadian yang tak dimiliki banyak orang. Kehidupan yang seharusnya pahit kau terima, karena tak ada yang peduli denganmu, bisa kau sikapi dengan penuh warna. Kehidupan penuh warna yang unik. Bagaikan ada sebuah pelangi dalam dirimu, yang memberikan warna kehidupan padamu, yang tak dapat ku pahami apa itu. UNIK.”
Reno hanya terdiam bengong, tanda tak mengerti. Sedangkan Fika yang mendengarnya, hanya mampu menebarkan senyumnya.
“Banyak hal yang ingin ku tahu darimu.” Lanjut Alfin. “Bisakah mulai sekarang kita bersahabat? Kita lupakan pertempuran masa lalu kita.”
Reno tercengang mendengarnya, ia hanya mampu meneteskan sedikit air yang membasahi pelipisnya, seraya berkata, “Terima kasih.”
“Sudah ku bilang, kau tak perlu berterimakasih. Kamilah yang seharusnya meminta maaf padamu, yang tak mau memahamimu.”
Reno terdiam, menatap mata Alfin dengan seksama.
Alfin menggandeng atau lebih tepatnya mengepit lengannya pada leher Heri dan juga kemudian menggandeng Reno. Suasana akrab dan ramah saat itu mulai terasa. Bergandengan dengan wajah menatap akrab yang berdekatan satu sama lain itu, Alfin pun berkata, “Mulai sekarang kita bertiga bersahabat, bukan?”
Senyum Reno yang belum pernah mereka lihat, mulai terpancar di sana. Kemudian Reno hanya menganggukkan kepalanya. Alfin dan Heri pun merasa senang, akhirnya mereka dapat mengenal siapa Reno sebenarnya. Tetapi, di suasana seperti itu, sepertinya ada yang terlihat cemberut tak senang.
Fika menutup mulutnya yang menguap sesaat, “Aku seperti patung di sini. Kalian tidak melupakan seseorang, bukan?”
Alfin dan Heri memandang seseorang yang sejak tadi tersenyum sendiri di sudut ruangan. Kemudian mereka berdua hanya mampu tertawa bersama. Sedangkan Reno, hanya terdiam bengong melihat gelagat teman-teman satu sekolahnya itu, oh, maksudnya, sahabat-sahabatnya itu.

Tamat


2 Blogger-Comments
Tweets
FB-Comments

2 comments:

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^