Riuh pikuk aksi para mahasiswa turun ke jalanan
untuk mengumandangkan semangat perjuangan yang mengecam tindakan keji tidak
berperikemanusiaan para tentara iblis Israel. Ya, mungkin itu adalah sesuatu yang
wajar pada pekan-pekan ini, terlebih setelah kembali terjadinya penyerangan
yang dilakukan oleh tentara Israel di jalur Gaza. Untuk sekian tahun lamanya,
para tentara Israel tidak mau juga memberikan kebebasan bagi para penduduk
tehormat Palestine.
Kejadian-kejadian seperti ini sebelumnya sudah
sering ku saksikan, baik di jalanan, di televisi, bahkan di universitasku
sekarang ini. Ilham, yang merupakan teman satu fakultasku itu, dia juga menjadi
salah seorang pemuda yang gempar mengobarkan semangat para mahasiswa dengan
melakukan berbagai tindakan penuntutan, kegiatan sosial, dan berbagai hal lain
yang katanya merupakan suatu aktivitas dakwah untuk memperbaiki generasi bangsa.
Aku memang tidak begitu kenal dengan Ilham,
tetapi yang pasti, dia adalah seorang aktivis mahasiswa yang aktif dalam
menyemarakkan segala macam kegiatan, yang mungkin lebih tepat disebut sebagai
demonstrasi atau apapun itu. Bahkan dia adalah seorang ketua sekaligus provokator
dalam organisasi yang ku ikuti. Ya, sebenarnya aku juga merupakan seorang
aktivis di fakultasku, hanya saja aku tidak terlalu berenergik dan aktif
seperti Ilham.
Pernah sebelumnya, ketika maraknya sebuah kasus
mengenai KUHP yang dianggap terjadinya sebuah penyelewengan, Ilham bersama
teman-temannya turun ke jalanan untuk melakukan berbagai aksi yang mengundang
kericuhan yang aku sendiri tidak mengerti untuk apa dan bagaimana itu.
“Ayolah Rahman, kau ini sudah berapa lama
bergabung dalam organisasi ini, tetapi sama sekali tidak pernah mau ikut
bersama kami.” Bujuk Ilham yang saat itu berusaha untuk mengajakku melakukan
aksi penuntutan bersama. Memang aku bergabung dalam organisasi yang berlabel
‘dakwah’ mahasiswa di fakultasku, tetapi aku dianggap paling tidak aktif di
dalamnya. Awal aku bergabung, aku kira bisa mendapatkan berbagai pengalaman dan
mengetahui berbagai seluk-beluk kegiatan politik atau juga berbagai aktivitas
dakwah lainnya. Tetapi, setelah aku tergabung di dalamnya, entah mengapa aku
merasa bingung dan semakin tidak mengerti. Seringkali aku bertanya, melakukan
demonstrasi? Penuntutan? Bahkan hingga perusakan tempat umum? Untuk apa?
Akankah para petinggi Negara ini akan mendengar dan peduli? Serentetan
pertanyaan yang hingga kini tak terjawab olehku.
Dan kali ini, setelah berbagai tayangan
televisi dan dari berbagai media informasi lainnya menyebutkan mengenai konflik
terkini antara Palestine dengan Israel, banyak dari kalangan umat Muslim di
berbagai Negara mengecam dan marah dengan ulah busuk Israel. Ya, begitu pula
dengan aku, dan semua anggota yang tergabung di organisasi tempat ku berada.
Dan di libur semester kali ini, Ilham kembali
memberikan arahan demi mendukung kemerdekaan Negara Palestine. Tentu saja aku
setuju dan sepakat mengenai hal yang satu ini. Melakukan kegiatan social,
memberikan sumbangan, dukungan atau apapun untuk Palestine? Muslim mana sih
yang tidak ikut mendukung untuk hal seperti itu. Tetapi, yang ada dalam
benakku, apa sih sebenarnya yang harus kita lakukan sebagai umat Muslim untuk
mendukung saudara sesama Muslim di Negeri Palestine sana? Apakah harus sampai
menuntut pemerintah yang dianggap tidak mau memberikan dukungan kepada
Palestine dan yang malah dianggap lebih condong pada kekuatan barat? Menuntut?
Sebenarnya boleh saja sih, tetapi yang terpikirkan olehku, akankah orang-orang
atas itu akan menganggap kita? Atau hanya akan menganggap sebagai sebuah
desingan angin yang berhembus? Kemudian, ketika pemerintah tak mau juga mau
mendengarkan jeritan anak bangsa ini, kita harus melakukan pengrusakan demi
untuk diperhatikan, haruskah? Terlebih, akankah penuntutan itu sampai
memperbaiki kondisi di Palestine.
“Kali ini kau ikut bukan, Rahman?” ajakan Ilham
membuyarkan lamunanku. Dan di saat pikiranku berkecamuk itu, kali ini ku hanya
bisa mengangguk tanda setuju. Untuk yang satu ini, aku hanya tidak mau dianggap
sebagai seorang Muslim yang tidak mau menyampaikan aspirasi dan dukungannya
terhadap Islam.
Hari pertama di mana aku ikut bersama rombongan
organisasi untuk menyemarakkan dukungan kepada rakyat Palestine ini berjalan
dengan baik dan lancar. Setidaknya, untuk sampai saat ini, tidak ada kendala
yang mengecamukkan pikiranku. Kami hanya mengumpulkan sumbangan yang nantinya
akan dikirimkan sebagai bentuk kepedulian terhadap rakyat Palestine.
“Bagaimana? Tidak ada masalah, bukan?” Tanya
Rini, seorang teman cewek satu jurusan yang mempunyai andil besar dalam
organisasi kami.
“Ya, setidaknya sampai saat ini semuanya
berjalan lancar.” Jawabku. “Antusias warga di kompleks perumahan mewah ini juga
cukup besar. Kita mendapatkan banyak bantuan dari mereka. Bahkan yang hanya ku
kumpulkan saja sudah mencapai…”
Belum sempat aku meneruskan ucapanku, tiba-tiba
Rini memotong perkataanku, “Nah gitu dong. Enggak dari dulu sih kamu ikutan
kita acara-acara kayak begini. Menyenangkan, bukan?” Aku terdiam tidak menjawab,
tetapi Rini tidak peduli dengan apa jawabanku. Ia berlalu pergi untuk mengambil
urusan lain.
Hari kedua, semuanya masih berjalan dengan
baik, setidaknya masih belum ada yang mengganggu pikiranku. Kami bersosialisasi
ke daerah-daerah kumuh yang terpencil, yang jauh dari jamahan pemerintah dan
masyarakat perkotaan. Sebuah daerah yang bisa dibilang merupakan sebuah tempat
primitive yang tidak begitu mengetahui informasi terkini di dunia luar. Ya,
setidaknya di sini jauh lebih bisa dibilang berdakwah dibanding
kegiatan-kegiatan yang sering ku lihat sebelumnya, yang lebih mengarah pada
demonstrasi. Di tempat kumuh ini, aku baru saja bisa menikmati sebuah kegiatan
berdakwah yang seharusnya memang patut dilakukan. Di sini aku bersemangat
menceritakan bagaimana perjuangan rakyat-rakyat Palestine yang begitu gigih
demi menggapai kemerdekaan mereka. Aku sungguh bersemangat dan bahkan tak
jarang aku melebih-lebihkan cerita yang ku buat, yah… ku pikir tak apalah,
lagipula aku belum benar-benar bagaimana kisah perjuangan sesungguhnya di sana.
Aku belum pernah ke sana sebelumnya, aku hanya sering membaca cerita-ceritanya
di berbagai media.
Hingga hari keempatnya, tidak ada yang
mengganggu pekerjaanku selama melakukan kegiatan dalam organisasiku. Yah,
setidaknya hingga hari kelimanya. Di hari kelimanya ini Ilham mulai melakukan
sebuah provokasi. Sebuah provokasi yang ku kira itu tidak perlu. Ilham
mengumpulkan semua anggota dalam organisasi kami di sebuah ruang rapat. Ilham
memulai percakapan panjang lebarnya. Ilham mulai berbicara ini dan itu. Dan
seperti biasa, ucapan-ucapannya itu selalu bisa mengundang perhatian serta
memprovokasi anggota lainnya.
Ilham mengatakan bahwa kita sebagai organisasi
yang akan bergerak dalam dakwah Islam ini harus bisa menunjukkan bahwa kita ada
di sini untuk mendukung penuh kemerdekaan rakyat Palestine. Yah… seperti
itulah, memberi provokasi, provokasi, dan provokasi, itulah sesuatu yang tidak
ku suka darinya. Memprovokasi para anggota untuk melakukan aksi-aksi yang ku
pikir tidak perlu. Entah, ku tidak mengerti, apakah semua anggota setuju atau
tidak. Tetapi yang pasti, seperti biasa, semuanya hanya terdiam memusatkan
perhatian.
“Coba ketahuilah bagaimana kondisi dan
perjuangan saudara-saudara kita di sana,” ucap Ilham dengan penuh semangat,
“yang berjuang mati-matian demi menegakkan dinul Islam ini. Dan apa yang bisa
kita lakukan di sini? Coba lihatlah, lihatlah bagaimana generasi bangsa
sekarang ini. Mereka terlihat tidak begitu peduli dengan perjuangan sulit para
Mujahidin di sana. Lihatlah, para pemuda Muslim di negeri ini. Tidak peduli, ya
benar-benar tidak peduli.”
Ilham mulai berhenti sejenak dan mengambil
nafas, di saat itu Rini memberanikan diri untuk mengambil pertanyaan, “Jadi,
apa yang harus kita lakukan untuk kali ini?”
Ilham memandang sosok yang bertanya itu dan
segera menjawab, “Tentu saja kita harus mengingatkan mereka akan keberadaan
rakyat Palestine yang dalam masa sulit-sulitnya ini.”
Semua anggota rapat termenung sejenak, begitu
pula aku. Aku menatap ke luar jendela, ke arah jalanan di luar ruang rapat.
Benar juga, aku melihat sosok para pemuda, mahasiswa, dan para generasi bangsa
lainnya yang berjalan lalu-lalang. Aku berpikir, apakah mereka juga memikirkan
bagaimana nasib saudara kita di negeri Palestine di sana. Dan jikalaupun mereka
peduli, apakah tindakan yang harus mereka ambil? Itupun jika mereka peduli? Aku
mengamati sekali lagi para sosok generasi bangsa di luar sana, dan membayangkan
bagaimana tingkah laku para sosok itu selama ini. Mall, supermarket, dan tempat
hiburan lain yang kini berkembang, dijadikan sebagai sebuah tempat untuk ajang
menghambur-hamburkan harta yang seharusnya bisa dinafkahkan, kemudian?
Mengikuti trend barat yang menjerumuskan pemikiran generasi bangsa? Apakah
seperti itu aku bisa menganggap mereka adalah orang yang peduli terhadap
kesengsaraan rakyat Palestine, peduli dengan perkembangan Islam?
“Kita harus mendukung perjuangan rakyat
Palestine,” lanjut Ilham, “dan kita akan membuat para generasi bangsa ini ingat
akan keberadaan rakyat Palestine.”
Aku mencoba untuk memberanikan diri untuk
bertanya, “Maksudmu kita akan melakukan demonstrasi lagi?”
“Bukan, bukan demonstrasi,” ucap Ilham
mengelak, “kita hanya akan menyampaikan aspirasi kita kepada seluruh penduduk
negeri ini agar sadar. Kita akan turun ke jalan-jalan dan menyemarakkan
dukungan kita pada rakyat Palestine.”
Ku memberanikan diri lagi untuk bertanya,
jarang sekali aku melakukan hal seperti ini, “Apakah itu perlu?”
Kali ini Rini ikut menyahut untuk
menjawab, “Tentu saja, ini sebagai
bentuk kepedulian kita, agar para penduduk Muslim di segala penjuru negeri
ingat dan sadar.”
“Jika kita harus menyadarkan mereka akan
keberadaan Palestine, kenapa kita tidak menyadarkan mereka lebih dahulu
mengenai identitas mereka sebagai Muslim?”
“Apa
maksudmu?” Sahut Ilham.
Aku menahan nafasku dan berusaha mengerahkan
tenagaku untuk memberanikan diri menjawab pertanyaan Ilham, “Kau sendiri bukan
yang mengatakan kepada kita untuk melihat bagaimana kondisi generasi bangsa
ini? Kita mencoba untuk mengingatkan mereka untuk menyadari akan keberadaan
rakyat Palestine, setelah itu apa? Mereka akan sama saja, mereka masih saja
akan mengikuti trend-trend bangsa barat, yang jelas sekali merupakan penjajah
bangsa Palestine. Lihatlah bagaimana pemandangan yang tampak di jalanan
sekarang ini, para Muslimah yang seharusnya dihormati dan dimuliakan dalam
Islam, sekarang ini dengan sendirinya menjadikan dirinya terhina. Lihatlah
bagaimana pedulinya generasi bangsa ini terhadap Islam? Menggunakan kemajuan
teknologi dan produk para penjajah tanpa berpikir terlebih dahulu, begitu saja
menggunakannya untuk membuka jalan kemaksiatan, apakah itu bisa dikatakan mereka
peduli? Politik bangsa yang condong mendukung penjajah.” Ucapku dengan nada
amburadul. Wajar, aku belum pernah ikut berdebat dalam organisasi ini.
Ilham dan para anggota lain menatapku dengan
seksama, mereka mencoba mencerna perkataanku baik-baik. Dengan rasa gugup, ku
melanjutkan, “Boleh saja kita membuat para pemuda Muslim ini menyadari akan
keberadaan rakyat Palestine, tetapi setelah itu apa? Semua sama saja? Para
Muslim di negeri ini sibuk melakukan pertengkaran yang tidak ada habisnya
dengan Negara tetangga yang notabenenya juga banyak penduduk Muslim. Apa
jadinya? Kedua Negara bertetangga yang berpenduduk dominan Muslim saling
bertengkar dan ribut. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah, dengan
mengatakan sebagai bentuk nasionalisme. Tidakkah kita berpikir bagaimana bangsa
penjajah melihat kita? Menertawakan pertengkaran kita?” Ku terdiam sejenak, berusaha
untuk mengatur kata-kata yang keluar dari mulutku, yang ku sadari sejak tadi
tidak teratur.
“Kita di sini berdiskusi mengenai rencana kita
untuk menyadarkan para Muslim itu agar memberikan dukungan mereka kepada rakyat
Palestine. Tetapi, bahkan kondisi para Muslim di dalam negeri sendiri ini
sedang berkecamuk konflik mengenai kesadaran mereka sebagai umat Muslim.
Sadarilah, kita sebagai para Muslim di negeri ini sedang terjajah secara psikis
oleh bangsa-bangsa penjajah di negeri Palestine sana. Apakah kita akan
melakukan sebuah penuntutan omong kosong, kemudian membuat para Muslim
mengetahui aksi kita dan membuat mereka menyadari akan keberadaan rakyat
Palestine, tetapi kemudian apa? Tetap saja, diri generasi bangsa ini terjajah,
mereka hanya akan terdiam membisu mengetahui kesengsaraan rakyat Palestine
tanpa melakukan tindakan apapun, karena sejatinya merekapun telah terjajah.
Kemudian setelah itu aksi kita hanya akan menjadi sebuah hembusan angin yang
berlalu begitu saja. Setelah itu semuanya akan berlalu seperti biasa, bahkan
mungkin akan lebih terjajah lagi, para Muslim akan melakukan kegiatan seperti
biasa yang condong terhadap perilaku penjajah. Jadi, di mana kesan kita di sana
setelah itu, di mana rasa pertanggungjawaban kita?”
Suasana hening, semua terdiam tanpa ada yang
menjawab, aku pun kembali melontarkan perkataan, “Kita harus benar-benar bisa
membuat para Muslim sadar akan identitasnya sebagai Muslim dan membuat mereka
akan benar-benar mendukung kemerdekaan rakyat Palestine, bukan hanya sekadar
aksi omong kosong. Jadi, apa yang bisa dan seharusnya kita lakukan demi bangsa
Palestine, demi kebangkitan Islam ini, dan demi pertanggungjawaban kita di hadapan Allah nantinya?”
Suasana kembali hening, akupun akhirnya hanya
mampu terdiam menantikan sebuah jawaban dari kalian.

wah, keren. tulisan ini mewakili apa yang juga ingin aku sampaikan dan pertanyakan. sungguh .....
ReplyDeleteoh, iyakah, kang..
Deletesebenarnya nih yg ngetik juga bingung sendiri...
betul2 inspiratif tulisanx sob!
ReplyDeletesebenarx kita yg muda2 ini gk ada tindakan nyata/langsung yg bs kita lakukan tuk palestina mgkn yg terbaik saat ini adalah berdoa tuk mereka dan mari mulai belajar mengenal islam scr intensif.., jgn cuma Islam KTP atw islam Keturunan.. *smile
ya..
Deletebuktikan bahwa kita Islam...
dan bagaimana Islam itu sebenarnya...
terima kasih...
Lets GAZE Live
ReplyDeleteyeah it's just my gaze
Delete#PrayForGAZA
ReplyDeleteJd gimana caranya untuk membuat muslim sadar akan identitasnya?
ReplyDeleteJika kita menunggu semua muslim di negara kita untuk sadar,
kapan kita bisa membantu palestinanya?
kalo ditanya caranya, kayaknya sulit dah...
Deleteusaha bagaimanapun, jika tidak ada hidayah dari Allah, akan sulit membuat manusia sadar...
tapi itu bukan berarti kita harus diam saja tanpa tindakan...
tetap lakukan yg terbaik apa yg kita bisa....
mulai dari diri sendiri..