Sunday, 2 December 2012 - , , 9 comments

DEMIMU PALESTINE, DEMIMU ISLAM, DAN DEMI-MU YA RABB



 Riuh pikuk aksi para mahasiswa turun ke jalanan untuk mengumandangkan semangat perjuangan yang mengecam tindakan keji tidak berperikemanusiaan para tentara iblis Israel. Ya, mungkin itu adalah sesuatu yang wajar pada pekan-pekan ini, terlebih setelah kembali terjadinya penyerangan yang dilakukan oleh tentara Israel di jalur Gaza. Untuk sekian tahun lamanya, para tentara Israel tidak mau juga memberikan kebebasan bagi para penduduk tehormat Palestine.
Kejadian-kejadian seperti ini sebelumnya sudah sering ku saksikan, baik di jalanan, di televisi, bahkan di universitasku sekarang ini. Ilham, yang merupakan teman satu fakultasku itu, dia juga menjadi salah seorang pemuda yang gempar mengobarkan semangat para mahasiswa dengan melakukan berbagai tindakan penuntutan, kegiatan sosial, dan berbagai hal lain yang katanya merupakan suatu aktivitas dakwah untuk memperbaiki generasi bangsa.
Aku memang tidak begitu kenal dengan Ilham, tetapi yang pasti, dia adalah seorang aktivis mahasiswa yang aktif dalam menyemarakkan segala macam kegiatan, yang mungkin lebih tepat disebut sebagai demonstrasi atau apapun itu. Bahkan dia adalah seorang ketua sekaligus provokator dalam organisasi yang ku ikuti. Ya, sebenarnya aku juga merupakan seorang aktivis di fakultasku, hanya saja aku tidak terlalu berenergik dan aktif seperti Ilham.
Pernah sebelumnya, ketika maraknya sebuah kasus mengenai KUHP yang dianggap terjadinya sebuah penyelewengan, Ilham bersama teman-temannya turun ke jalanan untuk melakukan berbagai aksi yang mengundang kericuhan yang aku sendiri tidak mengerti untuk apa dan bagaimana itu.
“Ayolah Rahman, kau ini sudah berapa lama bergabung dalam organisasi ini, tetapi sama sekali tidak pernah mau ikut bersama kami.” Bujuk Ilham yang saat itu berusaha untuk mengajakku melakukan aksi penuntutan bersama. Memang aku bergabung dalam organisasi yang berlabel ‘dakwah’ mahasiswa di fakultasku, tetapi aku dianggap paling tidak aktif di dalamnya. Awal aku bergabung, aku kira bisa mendapatkan berbagai pengalaman dan mengetahui berbagai seluk-beluk kegiatan politik atau juga berbagai aktivitas dakwah lainnya. Tetapi, setelah aku tergabung di dalamnya, entah mengapa aku merasa bingung dan semakin tidak mengerti. Seringkali aku bertanya, melakukan demonstrasi? Penuntutan? Bahkan hingga perusakan tempat umum? Untuk apa? Akankah para petinggi Negara ini akan mendengar dan peduli? Serentetan pertanyaan yang hingga kini tak terjawab olehku.
Dan kali ini, setelah berbagai tayangan televisi dan dari berbagai media informasi lainnya menyebutkan mengenai konflik terkini antara Palestine dengan Israel, banyak dari kalangan umat Muslim di berbagai Negara mengecam dan marah dengan ulah busuk Israel. Ya, begitu pula dengan aku, dan semua anggota yang tergabung di organisasi tempat ku berada.
Dan di libur semester kali ini, Ilham kembali memberikan arahan demi mendukung kemerdekaan Negara Palestine. Tentu saja aku setuju dan sepakat mengenai hal yang satu ini. Melakukan kegiatan social, memberikan sumbangan, dukungan atau apapun untuk Palestine? Muslim mana sih yang tidak ikut mendukung untuk hal seperti itu. Tetapi, yang ada dalam benakku, apa sih sebenarnya yang harus kita lakukan sebagai umat Muslim untuk mendukung saudara sesama Muslim di Negeri Palestine sana? Apakah harus sampai menuntut pemerintah yang dianggap tidak mau memberikan dukungan kepada Palestine dan yang malah dianggap lebih condong pada kekuatan barat? Menuntut? Sebenarnya boleh saja sih, tetapi yang terpikirkan olehku, akankah orang-orang atas itu akan menganggap kita? Atau hanya akan menganggap sebagai sebuah desingan angin yang berhembus? Kemudian, ketika pemerintah tak mau juga mau mendengarkan jeritan anak bangsa ini, kita harus melakukan pengrusakan demi untuk diperhatikan, haruskah? Terlebih, akankah penuntutan itu sampai memperbaiki kondisi di Palestine.
“Kali ini kau ikut bukan, Rahman?” ajakan Ilham membuyarkan lamunanku. Dan di saat pikiranku berkecamuk itu, kali ini ku hanya bisa mengangguk tanda setuju. Untuk yang satu ini, aku hanya tidak mau dianggap sebagai seorang Muslim yang tidak mau menyampaikan aspirasi dan dukungannya terhadap Islam.

Hari pertama di mana aku ikut bersama rombongan organisasi untuk menyemarakkan dukungan kepada rakyat Palestine ini berjalan dengan baik dan lancar. Setidaknya, untuk sampai saat ini, tidak ada kendala yang mengecamukkan pikiranku. Kami hanya mengumpulkan sumbangan yang nantinya akan dikirimkan sebagai bentuk kepedulian terhadap rakyat Palestine.
“Bagaimana? Tidak ada masalah, bukan?” Tanya Rini, seorang teman cewek satu jurusan yang mempunyai andil besar dalam organisasi kami.
“Ya, setidaknya sampai saat ini semuanya berjalan lancar.” Jawabku. “Antusias warga di kompleks perumahan mewah ini juga cukup besar. Kita mendapatkan banyak bantuan dari mereka. Bahkan yang hanya ku kumpulkan saja sudah mencapai…”
Belum sempat aku meneruskan ucapanku, tiba-tiba Rini memotong perkataanku, “Nah gitu dong. Enggak dari dulu sih kamu ikutan kita acara-acara kayak begini. Menyenangkan, bukan?” Aku terdiam tidak menjawab, tetapi Rini tidak peduli dengan apa jawabanku. Ia berlalu pergi untuk mengambil urusan lain.
Hari kedua, semuanya masih berjalan dengan baik, setidaknya masih belum ada yang mengganggu pikiranku. Kami bersosialisasi ke daerah-daerah kumuh yang terpencil, yang jauh dari jamahan pemerintah dan masyarakat perkotaan. Sebuah daerah yang bisa dibilang merupakan sebuah tempat primitive yang tidak begitu mengetahui informasi terkini di dunia luar. Ya, setidaknya di sini jauh lebih bisa dibilang berdakwah dibanding kegiatan-kegiatan yang sering ku lihat sebelumnya, yang lebih mengarah pada demonstrasi. Di tempat kumuh ini, aku baru saja bisa menikmati sebuah kegiatan berdakwah yang seharusnya memang patut dilakukan. Di sini aku bersemangat menceritakan bagaimana perjuangan rakyat-rakyat Palestine yang begitu gigih demi menggapai kemerdekaan mereka. Aku sungguh bersemangat dan bahkan tak jarang aku melebih-lebihkan cerita yang ku buat, yah… ku pikir tak apalah, lagipula aku belum benar-benar bagaimana kisah perjuangan sesungguhnya di sana. Aku belum pernah ke sana sebelumnya, aku hanya sering membaca cerita-ceritanya di berbagai media.
Hingga hari keempatnya, tidak ada yang mengganggu pekerjaanku selama melakukan kegiatan dalam organisasiku. Yah, setidaknya hingga hari kelimanya. Di hari kelimanya ini Ilham mulai melakukan sebuah provokasi. Sebuah provokasi yang ku kira itu tidak perlu. Ilham mengumpulkan semua anggota dalam organisasi kami di sebuah ruang rapat. Ilham memulai percakapan panjang lebarnya. Ilham mulai berbicara ini dan itu. Dan seperti biasa, ucapan-ucapannya itu selalu bisa mengundang perhatian serta memprovokasi anggota lainnya.
Ilham mengatakan bahwa kita sebagai organisasi yang akan bergerak dalam dakwah Islam ini harus bisa menunjukkan bahwa kita ada di sini untuk mendukung penuh kemerdekaan rakyat Palestine. Yah… seperti itulah, memberi provokasi, provokasi, dan provokasi, itulah sesuatu yang tidak ku suka darinya. Memprovokasi para anggota untuk melakukan aksi-aksi yang ku pikir tidak perlu. Entah, ku tidak mengerti, apakah semua anggota setuju atau tidak. Tetapi yang pasti, seperti biasa, semuanya hanya terdiam memusatkan perhatian.
“Coba ketahuilah bagaimana kondisi dan perjuangan saudara-saudara kita di sana,” ucap Ilham dengan penuh semangat, “yang berjuang mati-matian demi menegakkan dinul Islam ini. Dan apa yang bisa kita lakukan di sini? Coba lihatlah, lihatlah bagaimana generasi bangsa sekarang ini. Mereka terlihat tidak begitu peduli dengan perjuangan sulit para Mujahidin di sana. Lihatlah, para pemuda Muslim di negeri ini. Tidak peduli, ya benar-benar tidak peduli.”
Ilham mulai berhenti sejenak dan mengambil nafas, di saat itu Rini memberanikan diri untuk mengambil pertanyaan, “Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk kali ini?”
Ilham memandang sosok yang bertanya itu dan segera menjawab, “Tentu saja kita harus mengingatkan mereka akan keberadaan rakyat Palestine yang dalam masa sulit-sulitnya ini.”
Semua anggota rapat termenung sejenak, begitu pula aku. Aku menatap ke luar jendela, ke arah jalanan di luar ruang rapat. Benar juga, aku melihat sosok para pemuda, mahasiswa, dan para generasi bangsa lainnya yang berjalan lalu-lalang. Aku berpikir, apakah mereka juga memikirkan bagaimana nasib saudara kita di negeri Palestine di sana. Dan jikalaupun mereka peduli, apakah tindakan yang harus mereka ambil? Itupun jika mereka peduli? Aku mengamati sekali lagi para sosok generasi bangsa di luar sana, dan membayangkan bagaimana tingkah laku para sosok itu selama ini. Mall, supermarket, dan tempat hiburan lain yang kini berkembang, dijadikan sebagai sebuah tempat untuk ajang menghambur-hamburkan harta yang seharusnya bisa dinafkahkan, kemudian? Mengikuti trend barat yang menjerumuskan pemikiran generasi bangsa? Apakah seperti itu aku bisa menganggap mereka adalah orang yang peduli terhadap kesengsaraan rakyat Palestine, peduli dengan perkembangan Islam?
“Kita harus mendukung perjuangan rakyat Palestine,” lanjut Ilham, “dan kita akan membuat para generasi bangsa ini ingat akan keberadaan rakyat Palestine.”
Aku mencoba untuk memberanikan diri untuk bertanya, “Maksudmu kita akan melakukan demonstrasi lagi?”
“Bukan, bukan demonstrasi,” ucap Ilham mengelak, “kita hanya akan menyampaikan aspirasi kita kepada seluruh penduduk negeri ini agar sadar. Kita akan turun ke jalan-jalan dan menyemarakkan dukungan kita pada rakyat Palestine.”
Ku memberanikan diri lagi untuk bertanya, jarang sekali aku melakukan hal seperti ini, “Apakah itu perlu?”
Kali ini Rini ikut menyahut untuk menjawab,  “Tentu saja, ini sebagai bentuk kepedulian kita, agar para penduduk Muslim di segala penjuru negeri ingat dan sadar.”
“Jika kita harus menyadarkan mereka akan keberadaan Palestine, kenapa kita tidak menyadarkan mereka lebih dahulu mengenai identitas mereka sebagai Muslim?”
 “Apa maksudmu?” Sahut Ilham.
Aku menahan nafasku dan berusaha mengerahkan tenagaku untuk memberanikan diri menjawab pertanyaan Ilham, “Kau sendiri bukan yang mengatakan kepada kita untuk melihat bagaimana kondisi generasi bangsa ini? Kita mencoba untuk mengingatkan mereka untuk menyadari akan keberadaan rakyat Palestine, setelah itu apa? Mereka akan sama saja, mereka masih saja akan mengikuti trend-trend bangsa barat, yang jelas sekali merupakan penjajah bangsa Palestine. Lihatlah bagaimana pemandangan yang tampak di jalanan sekarang ini, para Muslimah yang seharusnya dihormati dan dimuliakan dalam Islam, sekarang ini dengan sendirinya menjadikan dirinya terhina. Lihatlah bagaimana pedulinya generasi bangsa ini terhadap Islam? Menggunakan kemajuan teknologi dan produk para penjajah tanpa berpikir terlebih dahulu, begitu saja menggunakannya untuk membuka jalan kemaksiatan, apakah itu bisa dikatakan mereka peduli? Politik bangsa yang condong mendukung penjajah.” Ucapku dengan nada amburadul. Wajar, aku belum pernah ikut berdebat dalam organisasi ini.
Ilham dan para anggota lain menatapku dengan seksama, mereka mencoba mencerna perkataanku baik-baik. Dengan rasa gugup, ku melanjutkan, “Boleh saja kita membuat para pemuda Muslim ini menyadari akan keberadaan rakyat Palestine, tetapi setelah itu apa? Semua sama saja? Para Muslim di negeri ini sibuk melakukan pertengkaran yang tidak ada habisnya dengan Negara tetangga yang notabenenya juga banyak penduduk Muslim. Apa jadinya? Kedua Negara bertetangga yang berpenduduk dominan Muslim saling bertengkar dan ribut. Masing-masing tidak ada yang mau mengalah, dengan mengatakan sebagai bentuk nasionalisme. Tidakkah kita berpikir bagaimana bangsa penjajah melihat kita? Menertawakan pertengkaran kita?” Ku terdiam sejenak, berusaha untuk mengatur kata-kata yang keluar dari mulutku, yang ku sadari sejak tadi tidak teratur.
“Kita di sini berdiskusi mengenai rencana kita untuk menyadarkan para Muslim itu agar memberikan dukungan mereka kepada rakyat Palestine. Tetapi, bahkan kondisi para Muslim di dalam negeri sendiri ini sedang berkecamuk konflik mengenai kesadaran mereka sebagai umat Muslim. Sadarilah, kita sebagai para Muslim di negeri ini sedang terjajah secara psikis oleh bangsa-bangsa penjajah di negeri Palestine sana. Apakah kita akan melakukan sebuah penuntutan omong kosong, kemudian membuat para Muslim mengetahui aksi kita dan membuat mereka menyadari akan keberadaan rakyat Palestine, tetapi kemudian apa? Tetap saja, diri generasi bangsa ini terjajah, mereka hanya akan terdiam membisu mengetahui kesengsaraan rakyat Palestine tanpa melakukan tindakan apapun, karena sejatinya merekapun telah terjajah. Kemudian setelah itu aksi kita hanya akan menjadi sebuah hembusan angin yang berlalu begitu saja. Setelah itu semuanya akan berlalu seperti biasa, bahkan mungkin akan lebih terjajah lagi, para Muslim akan melakukan kegiatan seperti biasa yang condong terhadap perilaku penjajah. Jadi, di mana kesan kita di sana setelah itu, di mana rasa pertanggungjawaban kita?”
Suasana hening, semua terdiam tanpa ada yang menjawab, aku pun kembali melontarkan perkataan, “Kita harus benar-benar bisa membuat para Muslim sadar akan identitasnya sebagai Muslim dan membuat mereka akan benar-benar mendukung kemerdekaan rakyat Palestine, bukan hanya sekadar aksi omong kosong. Jadi, apa yang bisa dan seharusnya kita lakukan demi bangsa Palestine, demi kebangkitan Islam ini, dan demi pertanggungjawaban kita di hadapan Allah nantinya?”
Suasana kembali hening, akupun akhirnya hanya mampu terdiam menantikan sebuah jawaban dari kalian.

9 Blogger-Comments
Tweets
FB-Comments

9 comments:

  1. wah, keren. tulisan ini mewakili apa yang juga ingin aku sampaikan dan pertanyakan. sungguh .....

    ReplyDelete
    Replies
    1. oh, iyakah, kang..
      sebenarnya nih yg ngetik juga bingung sendiri...

      Delete
  2. betul2 inspiratif tulisanx sob!
    sebenarx kita yg muda2 ini gk ada tindakan nyata/langsung yg bs kita lakukan tuk palestina mgkn yg terbaik saat ini adalah berdoa tuk mereka dan mari mulai belajar mengenal islam scr intensif.., jgn cuma Islam KTP atw islam Keturunan.. *smile

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya..
      buktikan bahwa kita Islam...
      dan bagaimana Islam itu sebenarnya...

      terima kasih...

      Delete
  3. Jd gimana caranya untuk membuat muslim sadar akan identitasnya?
    Jika kita menunggu semua muslim di negara kita untuk sadar,
    kapan kita bisa membantu palestinanya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo ditanya caranya, kayaknya sulit dah...
      usaha bagaimanapun, jika tidak ada hidayah dari Allah, akan sulit membuat manusia sadar...
      tapi itu bukan berarti kita harus diam saja tanpa tindakan...
      tetap lakukan yg terbaik apa yg kita bisa....
      mulai dari diri sendiri..

      Delete

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^