Menatap Sang Mentari yang cerah di depan sana. Ku dapat melihatnya kembali menyinari bumi yang telah kelam selama semalam. Kini, ku berdiri di atas sebuah jembatan di atas sungai yang sebenarnya tak terlalu lebar, tapi cukup dalam. Pandanganku lurus ke depan, menatap tempat di mana sang mentari terbit. Sekarang masih pagi, mungkin hampir jam 06.00 pagi. Ku berdiri di sini, menggenggam sebuah benda yang baru saja ku temukan pagi ini di dalam kamarku.
Sebenarnya aku sendiri ragu dengan apa yang akan ku lakukan. Tapi aku harus melakukannya. Dengan begitu aku bisa kembali hidup normal. Tapi, ShadowZ telah mempercayakannya kepadaku. Tapi, apa itu kewajibanku. Ah, ini membingungkanku. Aku tak melakukan kesalahan, bukan?
Ya, benda yang ku genggam ini adalah kristal yang dikelilingi bola batu tipis dengan motif tertentu yang diberikan oleh ShadowZ. Benda ini mengingatkan kepadaku akan apa yang telah terjadi. Sekarang aku hendak melemparkan benda ini jauh ke dalam sungai ini. Berharap kejadian aneh ini benar-benar terlupa olehku. Tapi terbesit perasaan ragu olehku. Aku seperti kabur dari tanggung jawabku. Dan juga orang yang telah mempercayakanku.
Jam 07.00, ku telah melangkah pergi dari jembatan itu. Namun, ku tak melangkah pulang. Dan juga benda itu masih ku pegang. Sekarang ku melangkah menuju rumah Epsa. Salah satu teman baikku. Aku hanya ingin bercerita sesuatu hal padanya.
Ku membunyikan bel yang berada di depan tumah Epsa. Sesaat kemudian aku dapat melihat seorang wanita berumur sekitar 40 tahunan. Aku dapat mengenalnya dengan baik, ia adalah salah orang yang bekerja di rumah Epsa. Maklum, rumahnya cukup besar.
”Oh, nak Ervin.” kata wanita tersebut.
”Ya, Epsa ada di rumah?”
”Silakan saja masuk. Sepertinya di tempat biasanya.”
”Ya, makasih.” aku langsung melangkah masuk. Aku tau apa yang wanita itu maksud.
Ketika telah masuk ke dalam, ku langsung menuju halaman belakang. Di sana ku dapat melihat halaman pekarangan yang cukup luas, dan juga lapangan basket, di sana masih sepi dengan anak-anak yang biasanya main ke rumah Epsa. Yah mungkin masih pagi. Tapi tak jauh dari lapangan tersebut, ku dapat melihat suatu lapangan untuk memanah, dan di sana Epsa sedang berlatih memanah. Ya, dia jago dalam olahraga, lebih-lebih dalam memanah. Dia seperti ahlinya.
”Ada apa pagi-pagi seperti ini, Jim?” kata Epsa tanpa menoleh ke arahku.
”Tak apa bukan mengunjungi sahabat baiknya di pagi seperti ini.”
”Tentu saja. Kapan pun.” dia meletakkan busur panahnya di meja di sebelahnya yang sudah terdapat beberapa anak panah terlihat di meja itu.
Kemudian ia mengajakku masuk ke ruang keluarganya yang lebih dari cukup luas. Aku sudah biasa di ajaknya ke ruang keluarganya, walau aku sebenarnya tak lebih dari tamu di situ. Ketika berada di ruang keluarga, aku duduk di salah satu sofa di antara tiga sofa panjang yang berada di situ. Epsa duduk di sofa yang lain, yang menghadap ke arah televisi. Kemudian ia mengambil sebuah remote dan menyalakan televisi.
”Ada apa masalah apa, Jim?”
”Ya, tak apa-apa, hanya main saja. Dan mungkin bisa sedikit bercerita denganmu.”
”Hemh? Apa masalah ujian nanti? Kau sudah siap, bukan?”
”Tentu saja. Ehm... bagaimana ya ceritanya.”
”Ada masalah?”
”Ehm... Bagaimana jika menurut pendapatmu, ketika akan menghadapi ujian seperti ini, ternyata ada suatu masalah lain yang mungkin akan menyibukkan ketenangan kita?”
”Maksudmu...?” Epsa menjawab dengan sedikit terlihat ragu. ”Tentu saja bagaimanapun kita harus menghadapi masalah itu terlebih dahulu, bukan? Kita tidak bisa begitu saja kabur dari masalah, karena bagaimanapun dan dimanapun kita dilingkupi masalah. Tak ada gunanya kabur, lebih baik hadapi saja. Bukankah hanya pengecut yang kabur dari apa yang sedang dihadapinya? Lagipula kalaupun kau ada masalah tertentu, bukankah ujian masih beberapa hari lagi? Aku yakin kau bisa menyelesaikan segala masalahmu, kan, Jim?”
”Tapi bagaimana jika masalah itu membahayakan atau bahkan akan merenggut nyawamu, sehingga tak ada lagi yang namanya kesempatan lain untuk ujian?”
”Hah...??? Memangnya kau ada masalah apa, Jim?”
”Sulit untuk mengatakannya, Epsa. Mungkin itu akan terlihat seperti khayalan anak kecil saja. Maaf. Mungkin aku tak bisa mengatakannya sekarang.”
”Ya, apapun masalahmu itu, aku percaya kau bisa menyelesaikannya dengan baik.”
”TerimaKasih, Epsa. Dan aku minta maaf akan segala kesalahan yang pernah ku lakukan padamu. Aku benar-benar minta maaf. Kau lah Sahabat terbaikku.”
”Kau tak perlu minta maaf, sahabatku. Bagiku kau seperti tak memiliki kesalahan, kalaupun ada aku pasti sudah memaafkan dan melupakannya. Tapi kau harus ingat, kita akan tetap bersaing.”
”Ya. Terimakasih.” jawabku merendah. ”Oh, ya, aku punya satu permohonan padamu.”
”Apa saja yang bisa ku bantu.”
”Seandainya, ya seandainya saja ku meninggalkan dunia ini lebih dulu, ku ingin kau menjaga adikku, Ferdi, entah mengapa aku merasa kau adalah satu-satunya orang yang bisa ku percaya.”
”Yah... walaupun ku tak tau apa yang sebenarnya terjadi padamu, tapi aku juga tetap percaya padamu. Bahkan, lebih dari itu.”
Tanpa ku sadari ku meneteskan air mata, ku mencoba mengusapnya, tak ingin terlihat oleh Epsa, tapi sepertinya ia telah menyadarinya. Ia mendekatiku dan duduk di sampingku......
*****
Di siang hari, ku berjalan pulang. Ku memasukkan tangan kananku ke dalam saku celanaku. Ku ambil sebuah benda itu dari saku, ku terus memandang kristal biru mengkilau itu. ”Bahkan Epsa pun mempercayaiku. Aku bukanlah seorang pengecut, kali ini aku takkan lagi lari dari apa yang telah ditanggungjawabkan padaku. Tak akan lagi. Tapi bagaimana aku dapat kembali ke tempat itu?
”Kak...?” suara yang tak asing memanggilku. Ku menoleh ke belakang dimana suara itu terdengar olehku. Ternyata aku melihat adikku menghampiriku. Dia baru saja pulang sekolah. Ya, di sekolahnya tak libur seperti di sekolahku.
Kemudian kami berjalan bersama menuju rumah. Tapi tiba-tiba.... ku melihat tiga orang menghadang kami. Sepertinya tak asing dengan wajah mereka bertiga. Ya, mereka adalah murid dari sekolah yang dekat dengan sekolah kami. Jika tidak salah, mereka merupakan ketiga orang dari tujuh orang yang dulu pernah menghadang aku dan tiga orang temanku dan meminta jatah uang kepada kami. Sial. Mau apa lagi mereka? Apakah karena dulu aku tak memberikan uang kepada mereka. Ah, sekalipun ku berikan, mereka tetap akan meminta lagi.
Tanpa terlalu memperdulikan mereka, ku menggenggam lengan kanan adikku dengan tangan kiriku, berusaha mengajaknya bergerak cepat menerobos ke samping mereka.
Kami melalui mereka dari samping begitu saja.
”Ah, rupanya kau anak yang pernah melalui kita begitu saja.” kata salah seorang dari mereka.
”Sekarang juga begitu rupanya.” temannya yang lain juga ikut berkata.
”Jih... dasar pengecut.” yang lain lagi berkata pula. Aku sedikit tersentak dengan perkataan anak yang ini. Kemudian ku membisikkan ke telinga Ferdi agar ia berlari pulang lebih dulu.
”Sebaiknya kita apakan yang ini?” kata anak yang pertama bicara tadi.
”Halah, paling habis ini dia juga kabur menyusul adiknya.” kata yang lain.
”Kita habisi saja di sekarang.” kata yang lain lagi.
”Heeyyy... siapa yang kau bilang pengecut. Mau cari masalah kalian.” Akhirnya ku ikut ambil bicara, setelah melihat Ferdi sudah berada cukup jauh.
”Dasar, berlagak pula bocah ini.” Kata salah satu dari mereka. Dua orang dari mereka maju beberapa langkah ke depan, satu orang yang di tengah masih berada di belakang. Dua orang dari mereka kini sudah berada tepat di depanku, satu orang di kiriku dan yang satu lagi di kananku.
”Mau macam-macam loe!” pemuda di kiriku mulai berbicara sambil mendorong bahuku kiriku. Ku terpaksa sedikit melangkah ke belakang untuk menjaga keseimbangan. Sedangkan yang di kanan sudah mengepalkan tangan kanannya, kemudian melesatkan pukulan ke arahku. Tapi ku melompat ke belakang untuk menghindarinya. Dengan segera, pemuda di kiriku tadi langsung mengarahkan pukulan tangan kanannya ke arahku juga, ku menahan pukulannya dengan telapak kiriku, kemudian mencengkeramkan tangan kiriku dengan kuat.
”Sialan loe!” orang itu membentak dan menjuruskan pukulan tangan kirinya ke arahku, segera ku berusaha untuk menelaknya. Tapi ketika melihat pemuda yang lain ikut menjuruskan pukulannya, aku segera melepaskan cengkeramanku dan melompat ke belakang.
”Jih... boleh juga.” pemuda yang di belakang mulai terlihat geram dan melangkah ke depan.
”Tenang saja kau, Bill! Bocah ingusan dari sekolah sebelah ini bisa kami tangani sendiri. Sekolah sebelah tak lebih dari sekumpulan bocah pengecut.” kata salah seorang yang di depan.
”Dan kalian tak lebih dari sekumpulan orang bodoh.” aku membalas perkataannya dengan sedikit merasa geram. Ku dapat melihat mereka terlihat marah ketika ku menjawab seperti itu. Kemudian ku menatap ke bawah, di sini bukanlah jalanan setapak. Bagus, kami semua menginjakkan kaki di tempat yang berpasir dan mungkin penuh debu. Ku melompat sedikit ke depan dan mendaratkan kaki dengan hentakan yang sangat keras untuk menciptakan gertakan, hingga debu-debu pasir di bawah bertebaran tak tentu arah, hingga menghalangi pandangan. Aku sudah tau itu, aku telah memejamkan mataku sesaat sebelum debu memedihkan mata, tapi aku telah tau pasti posisi kedua orang yang di depan. Ku segera membentangkan kedua sikutku ke arah kiri dan kanan, kemudian merangsek ke depan, dan aku dapat merasakan kedua sikutku menghantam perut kedua orang tersebut. Sesaat setelah serangan itu, aku segera melompat beberapa kali ke belakang. Ku membuka mata, melihat debu-debu pasir melayang jatuh berserakan, dan juga kedua orang tadi, ku lihat mereka membungkuk dan memegangi perut mereka.
”Shit! Bodoh!” seorang yang di belakang melangkah maju. Ku menghentakkan kaki kiriku ke depan ke atas tanah, dan memasang kuda-kuda untuk memberikan sedikit gertakan. Tetapi orang itu tetap melangkah maju tanpa ada raut keraguan, dengan mengepalkan tangan kanannya ke telapak kirinya. Kemudian berlari maju dan hendak menghantamkan pukulannya ke arahku. Lekas ku mencoba, ya hanya mencoba, ku menyeret kaki kiri ke belakang, kemudian memutar kaki kiriku dengan disertai tubuh untuk menciptakan tendangan telak ke arah lawan, seperti yang biasa yang ku lihat di televisi. Benar saja, tendanganku tepat mengenai rahang kirinya.
”Oops!” secara tak sengaja ku mengatakan hal itu ketika melihat orang itu terbanting ke samping dan memuncratkan darah dari mulutnya. Sebenarnya ku tak bermaksud seperti itu. Ku memalingkan tubuhku dari mereka, hendak pergi menjauhi mereka. Tapi kemudian, ku kembali berbalik ke arah mereka, ku mendekati seorang yang roboh terkena tendanganku tadi. Ku menjulurkan tangan kananku hendak menolongnya, tapi ia menepis tanganku. Ia berdiri sendiri, kemudian mengusap darah di bibirnya dengan tangan kanannya. Ia memalingkan wajahnya dariku. Mengajak kedua temannya untuk segera bangkit. Kemudian melangkah menjauhiku. Tetapi sesaat kemudian ia berhenti mendadak dan berkata tanpa menoleh ke arahku, ”Siapa namamu?”
”Eh..” ku kaget dan menjawab dengan ragu. ”Jim...?”
”Aku Billy.” kemudian orang itu langsung pergi tanpa mengucapkan apapun lagi.
”Billy? Apa maksudmu.” ku sedikit berteriak ketika ia telah terlihat jauh.
”Camkan nama baik-baik. Suatu saat kita akan bertemu kembali. Saat itu aku akan membunuhmu.” Anak itu juga berbicara dengan sedikit berteriak, tapi tak menoleh sedikitpun ke arahku. Entah, apa yang ia inginkan. Tanpa pikir panjang lagi ku berpaling dan pulang.
Tiga anak itu melangkah berlawanan arah dari Jim, salah seorang dari mereka kemudian berkata, ”Bill, kau dikalahkan begitu saja oleh bocah itu?”
”Sial! Diam saja kau!” Billy menjawab.
”Ternyata anak terkuat di sekolah kita dikalahkan dengan mudah, bahkan tanpa perlawanan apapun oleh anak sekolah sebelah.” salah seorang yang lain berkata pula.
”Diam....!!!! Kau mau mati apa!!!! Suatu saat ku akan membuat perhitungan dengannya.”
*****
Hari ini sudah hari Sabtu, dan Jum’at kemarin ku mengalami hal aneh. Tetapi, masih dalam batas wajar. Karena masih di dunia nyata. Sepertinya mimpiku yang aneh tak menghampiriku kembali. Seharusnya aku merasa senang. Tetapi, entah mengapa, kini ku merasa seperti seorang pengecut yang kabur dari tanggung jawabnya. Ah, entahlah...
Kesunyian dan kegelapan kembali menyelimuti hari, tak terasa malam telah tiba. Seperti biasa aku, adikku dan ibuku sekarang sedang berkumpul bersama dan menyantap makan malam di ruang belakang. Tapi hari ini, malam Sabtu ini, ada sesuatu yang terus mengganjal hatiku. Entah, aku sepertinya sedikit ragu. Dan dengan begitu saja, aku memasukkan tangan kananku ke dalam saku celanaku, ku memegangi benda yang ku temukan pagi ini.
”Ehm...” ku memulai pembicaraan dengan sedikit ragu. ”Apakah saat remaja sepertiku ini... masih..... ya masih pantas jika mempercayai sesuatu yang diluar akal, yah seperti mempercayai sesuatu yang menjadi khayalan anak kecil, bu?”
”Sepertinya kau sedikit aneh, Jim? Ada apa?” ibuku membalas. ”Tapi bagaimanapun, setiap manusia selalu memiliki keinginan dan khayalannya masing-masing. Yang bahkan mungkin juga sulit untuk dipercaya.”
”Gak ada apa-apa kok.” ku menjawab dengan masih ragu. ”Ehm... tapi bagaimana jika ku mengkhayal memasuki dunia yang di luar akal manusia, kemudian aku bertemu dengan orang-orang yang aneh dan kemudian aku terpaksa harus bertarung.”
”Wuah.... seru dong, kak!” adikku ikut menjawab.
Ibuku hanya tersenyum ketika mendengarnya, dan kemudian menjawab, ”Ku kira itu masih wajar, Jim. Setiap orang bebas memainkan imajinasinya.”
”Ehm... tapi bagaimana jika imajinasi itu terlihat seperti nyata. Dan dalam imajinasi itu, aku mendapat kepercayaan untuk menghentikan aksi kejahatan dari seseorang yang aneh.”
”Ah, kak, aku bisa ikutan gak? Seru tuh kayaknya.” adikku menjawabnya dengan polos.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman, begitu pula yang terlihat di wajah ibuku. Dan aku hanya menantikan jawaban dari ibuku.
”Maka kau harus melakukannya.” jawab ibuku. ”Karena dalam setiap perbuatan ada pertanggungjawabannya. Kau tak boleh begitu saja mengabaikan kerpercayaan seseorang.” aku dapat melihat raut wajahnya yang tersenyum tegas. Dan aku pun berusaha untuk menahan air mata yang mulai terasa membasahi pipiku. Dan dalam hati ku berkata, ”Ya, aku tak boleh menjadi pengecut lagi. Akan aku lakukan apa yang dipercayakan padaku. Aku tak akan menghindar dari setiap permasalahanku lagi kali ini. Sudah cukup.”
”Maaf.” ku hanya bisa berkata seperti itu kepada adik dan juga ibuku.
”Untuk apa?” tanya ibuku.
”Untuk semua hal. Aku hanya ingin meminta maaf saja.”
”Apapun itu, ibu pasti sudah memaafkannya, Jim.”
”Terima kasih. Sekali lagi ku minta maaf.”
Selesai percakapan keluarga kecil itu, ku kembali memasuki kamar. Ku berbaring di dalam kamar dan melihat jam yang terpasang di dinding. Sudah pukul 09.00 malam, aku kembali memikirkan sesuatu yang telah beberapa hari ini ku lupakan. Besok hari Minggu, dan malam ini ku berpikir apakah aku dapat kembali ke jalur penghubung lagi? Ku menggenggam batu kristal yang di berikan ShadowZ saat itu dengan tangan kiriku di atas dadaku. Sesaat kemudian, terpintas dalam benakku, perkataan ShadowZ saat itu, ia mengatakan bahwa aku memiliki pilihan dan saat aku telah siap aku akan tau. Apa itu maksudnya aku dapat memilih untuk kembali lagi atau tidak?
Malam semakin larut, tapi aku masih berada di alam sadarku. Kini ku menggenggam dengan sangat erat batu kristal itu. Mataku terpejam, membayangkan sesuatu, memikirkan sesuatu, dan apapun itu juga, apapun yang berkaitan dengan tanggung jawabku untuk menyelesaikan tugas ShadowZ, aku memikirkan apa yang sebaiknya ku lakukan jika ku kembali, tapi bagaimana aku dapat kembali. Semua pikiran itu berkecamuk dalam otakku. Tapi sebelum semuanya terselesaikan untuk ku pikirkan, ternyata ku telah tertidur lelap.....
0 comments:
Post a Comment
Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^