Sabtu, 13 Desember
2014. Bel terdengar telah berdentang. Jam pelajaran di salah satu SMP di kota
Seberida telah berakhir, seluruh muridnya tampak berhamburan meninggalkan
sekolah. Beberapa langkah diantaranya terdengar bergetar ke arah selatan dari
sekolah. Segerombolan siswa kelas tiga tampak sedang saling berbincang,
beberapa dari mereka sedang membahas perihal UN yang akan berlangsung empat atau
lima bulan ke depan. Ya, ini sebentar lagi mereka sudah memasuki semester dua,
dan tentunya, para murid kelas tiga akan sibuk membahas dan mempersiapkan
segala sesuatunya.
Suara-suara ucapan perpisahan
berdengung membahana dalam suasana pulang sekolah pada langkah-langkah yang
lambat laun memisahkan diri. Seorang murid diantara mereka telah berjalan
sendiri memusat pada satu jalur.
”Hey... Ferdi!”
Tiba-tiba sebuah suara mendengung dari arah seorang pemuda tegap yang sedang
bersandar pada tembok di pinggir jalan. ”Owh... Kak Epsa!” Murid SMP yang
dipanggil Ferdi itu segera menjawab dengan tegas. ”Baiklah... Ayo!”
*****
Tepat lima tahun sebelum
itu, di sebuah rumah di daerah Seberida, seorang pelajar SMA bernama Jim
meninggal dunia dengan keadaan yang mengherankan. Beberapa orang dekat Jim
telah mengetahui sebab kematian Jim berdasarkan otopsi dokter. Mereka percaya
akan hal itu. Tetapi lain halnya dengan sahabat Jim, Epsa, dia masih heran dan
penasaran akan hal sebenarnya dibalik kematian Jim. Begitu pula dengan adiknya,
Ferdi, lambat laun seiring bertumbuh besar dirinya, dia menjadi kian mengerti,
dan akhirnya merasakan akan adanya keganjalan dari kematian kakaknya.
Akhir-akhir ini Ferdi juga merasakan ada sesuatu yang aneh.
Enam bulan setelah
kematian Jim, ibunya memutuskan untuk pindah dari rumah itu ke rumah seorang kakak
laki-lakinya, yang tidak lain adalah paman Jim dan Ferdi, yang berada di
kelurahan Pangkalan Kasai yang tidak jauh dari rumah asalnya dan merupakan
daerah dengan kepadatan yang paling ramai di kota Seberida. Hal ini dikarenakan
ibu Jim merasa khawatir akan perkembangan anak terakhirnya, jika ia harus
merawat seorang anak yang menjadi harapan terakhirnya seorang diri, sedangkan
ia sendiri sudah berumur lanjut usia dan tidak tahu kapan ajal akan
menjemputnya. Untuk itu, ibu Ferdi membawa Ferdi ke rumah pamannya, yang di
sana terdapat beberapa sanak saudara dan sepupu-sepupunya, yang dapat menjadi
pelipur lara bagi kesedihan Ferdi yang telah ditinggal kakaknya.
Beberapa bulan
setelah kepindahan Ferdi dan ibunya, Ferdi semakin dekat dengan sahabat
kakaknya, Epsa. Ferdi sendiri terkadang merasa heran dan tak enak diri karena
ia banyak mendapatkan bantuan dari Epsa. Terlebih rumah pamannya yang ia
tinggali hanya berjarak beberapa meter dari rumah Epsa. Sehingga Ferdi sering dibantu
dan mengobrol banyak hal pada Epsa. Kini, mereka berdua menjalin persahabatan
yang erat. Bahkan, mereka lebih mirip seperti adik-kakak.
*****
Akhir-akhir ini, Ferdi
merasa ada sesuatu hal yang mengganjal di hatinya. Di hari minggunya, entah
mengapa timbul di benak Ferdi sebuah perasaan ingin mengunjungi bekas rumahnya
yang telah lama tak dihuni. Dan ia pun memutuskan untuk berangkat pagi itu
juga.
Di tengah perjalanan,
Ferdi berpapasan dengan Epsa, kemudian mereka berbincang sejenak. Epsa mengerti
apa yang dirasakan Ferdi saat percakapan itu, dan menawarkan diri untuk ikut
serta menemaninya melihat kondisi rumah lama Ferdi.
Kini, rumah itu telah
tampak usang dan tak terawat. Gumpalan debu dan jejeran jaring laba-laba yang
tampak menyelimuti dinding-dinding rumah menambah kesan rumah tua yang telah
lama ditinggalkan. Derup dua langkah kaki terdengar mendekati rumah usang itu.
Dari luar jendela, Ferdi mengusap kaca jendela dan melongokkan matanya untuk melihat
kondisi di dalam rumah. Epsa lekas memegang gagang pintu hendak membuka pintu.
Gagang yang berkarat dan sulit untuk digerakkan, memaksa Epsa mendobrak pintu.
Epsa mendahului masuk diiringi dengan Ferdi. Mereka berdua memainkan matanya
mengitari ruas-ruas bangunan.
Tanpa pikir panjang, Ferdi
segera memasuki bangunan tua itu. Entah, ia sendiri tak tahu apa tujuannya
datang ke rumah kenangannya itu. Ia hanya melihat dan melihat. Tetapi tak juga
mengerti. Namun, sebuah ruangan yang tak lebih bagus dari kondisi ruangan lain
di rumah itu menarik khayal ambang pikirnya. Ia memerhatikan ruangan itu dengan
seksama. Perlahan, langkah kakinya membawa dirinya ke pintu ruangan. Ia
memerhatikan sebuah tempat kosong yang dulunya pernah terdapat tempat tidur
yang ia kenal. Ya, dulu pernah ada sebuah tempat tidur yang mana kakaknya
menghembuskan nafas terakhirnya di atas tempat tidur itu. Ya, ia ingat betul,
bagaimana suasana panik ibunya yang tak terbendung ketika kakaknya tak juga
sadarkan diri setelah kian lama dicoba untuk dibangunkan. Namun, kini, ruangan
itu hanya berupa ruangan kosong. Tak ada lagi tempat tidur, tak ada lagi lemari
dan juga meja, serta beberapa perabotan lain yang pernah digunakan kakaknya.
Kini, ruangan itu
hanya berisi kayu-kayu tak guna dan beberapa tumpukan kerdus serta barang tak berguna
lainnya. Ferdi memeriksa kayu dan kerdus yang ada di sana. Tak ada apapun yang
ia temukan, bahkan ia tak mengerti mencari apa, kecuali ia melihat suatu
coretan aneh yang ia tak mengerti di balik timbunan kayu. Seingatnya dulu,
tempat itu adalah bekas lemari kakaknya. Di sisinya, ia melihat sebuah pecahan
cermin bersandar pada tembok. Ia dapat melihat dan mengetahui bahwa Epsa sedang
memerhatikan dirinya di depan pintu ruangan. Ferdi menatap lurus ke pecahan
cermin itu. Tiba-tiba.... Ia terkejut melihat ada sebuah kristal biru gelap
yang dikelilingi ukiran batu di dalam bayangan pecahan cermin itu yang tampak
seperti di belakangnya. Refleks saja, Ferdi lekas berbalik dan mencari
dimanakah asal keberadaan kristal yang ia lihat di dalam cermin itu.
”Ada apa?” tanya Epsa
heran. Tetapi Ferdi tak menjawab. Matanya masih menyusuri lantai ruangan,
mencari di mana posisi kristal yang ia lihat di dalam cermin. Tetapi ia tak
menemukannya. Ferdi lekas berbalik lagi, melihat ke dalam cermin itu sekali lagi.
Tetapi kali ini ia tak melihat ada kristal yang ia lihat sebelumnya.
”Ah, tidak ada
apa-apa.” jawab Ferdi kemudian. Sebenarnya ia masih heran dengan apa yang
dilihatnya. Tetapi kemudian, ia berpikir bahwa itu hanya firasatnya saja. ”Ah,
baiklah, sebaiknya kita kembali saja sekarang. Tak ada yang bisa kita lakukan
di sini.”
”Baiklah.” jawab
Epsa.
Mereka berdua kembali
melewati pintu rumah yang telah rusak itu. Perlahan, mereka berdua berjalan
beriringan. Tetapi tiba-tiba Ferdi membalikkan tubuhnya.
”Ada apa lagi?” lekas
tanya Epsa.
”Sepertinya aku
melihat...” Ferdi terdiam sejenak, kemudian ia meneruskan perkataannya di dalam
hati, ’ada sesosok bayangan’, tetapi ia berpikir bahwa itu hanya
firasatnya saja. ”Ah, bukan apa-apa.” ucap Ferdi pada Epsa.
*****
Sebenarnya, beberapa
menit sebelum itu, di pusat kota Eltern, kota pusat di dunia Liteirin, tujuh
sosok pria berpakaian seragam gelap khas milik para anggota Gunryou, terdiam di
depan sebuah reruntuhan gedung utama yang disebut sebagai Cyber-Gate. Lima
diantara mereka berada di luar reruntuhan untuk memastikan tidak ada yang
mendekati tempat mereka berada. Sedangkan dua yang lain tepat berada di dalam
reruntuhan Cyber-Gate.
”Ah, akhirnya aku
akan bisa melewati gerbang dimensi dan melihat dunia yang lainnya.” Salah
seorang diantara dua orang di dalam Cyber-Gate berkata.
”Baiklah, segera anda
lakukan.” Seorang yang lain lekas menyahut.
”Baik, baik! Kalian
semua juga akan ikut, bukan?”
”Tentu tidak.” jawab
salah seorang yang lain tadi.
”Ha? Kenapa?”
”Karena hanya orang
tertentu yang dapat melewati gerbang dimensi. Dan kau adalah anak dan juga adik
dari orang yang pernah memimpin Gunryou. Kau adalah keturunan terhormat Arin, Knight?”
”Memangnya kenapa
dengan itu, Stealth?”
”Yah, kau tahu bukan
keturunan Arin memiliki kemampuan khusus. Kau pasti bisa melewati gerbang
dimensi yang tak bisa dilewati oleh sembarangan orang.”
”Tunggu! Jangan
bilang kalau tugas ini dibebankan oleh aku seorang diri?”
”Tentu... tentu
tidak. Memang gerbang dimensi ini tak bisa dilewati sembarangan orang. Bahkan
kelima seven-warrior lain di belakang kita tak bisa melewatinya. Tetapi aku
akan turut serta mendampingi misimu kali ini. Karena aku adalah salah seorang
yang mampu melewati gerbang dimensi ini.”
”Owh...”
”Baiklah, segera anda
lakukan.”
Salah seorang yang
dipanggil Knight tadi segera membentangkan tangan kirinya ke depan, tepat di
antara dua buah pilar besar yang berdiri kokoh di dalam reruntuhan. Tiba-tiba
cahaya terang muncul. Cahaya itu bagai berputar di depan telapak tangan Knight.
Tetapi, tiba-tiba cahaya memercik dan mementalkan Knight ke belakang.
”Baiklah. Tak apa.
Anda hanya kurang konsentrasi saja. Sekarang fokuskan diri anda.” ucap Stealth
menasehati.
”Oke... oke...” jawab
Knight santai. Kini Knight mencoba kembali. Cahaya berpendar kembali di depan
telapak tangan Knight yang kemudian cahaya itu segera menyebar ke arah dua
pilar itu. Dan...
INFO:
J ayo bukukan cerita-cerita blog mu..
ReplyDeletebagus-bagus... :D
janga dulu, No..
Deletemasih kurang pede aku...