Thursday, 27 December 2012 - , 2 comments

CERMIN DUA MUARA part I – Menuju Cahaya Baru

Sabtu, 13 Desember 2014. Bel terdengar telah berdentang. Jam pelajaran di salah satu SMP di kota Seberida telah berakhir, seluruh muridnya tampak berhamburan meninggalkan sekolah. Beberapa langkah diantaranya terdengar bergetar ke arah selatan dari sekolah. Segerombolan siswa kelas tiga tampak sedang saling berbincang, beberapa dari mereka sedang membahas perihal UN yang akan berlangsung empat atau lima bulan ke depan. Ya, ini sebentar lagi mereka sudah memasuki semester dua, dan tentunya, para murid kelas tiga akan sibuk membahas dan mempersiapkan segala sesuatunya.
Suara-suara ucapan perpisahan berdengung membahana dalam suasana pulang sekolah pada langkah-langkah yang lambat laun memisahkan diri. Seorang murid diantara mereka telah berjalan sendiri memusat pada satu jalur.
”Hey... Ferdi!” Tiba-tiba sebuah suara mendengung dari arah seorang pemuda tegap yang sedang bersandar pada tembok di pinggir jalan. ”Owh... Kak Epsa!” Murid SMP yang dipanggil Ferdi itu segera menjawab dengan tegas. ”Baiklah... Ayo!”
*****

Tepat lima tahun sebelum itu, di sebuah rumah di daerah Seberida, seorang pelajar SMA bernama Jim meninggal dunia dengan keadaan yang mengherankan. Beberapa orang dekat Jim telah mengetahui sebab kematian Jim berdasarkan otopsi dokter. Mereka percaya akan hal itu. Tetapi lain halnya dengan sahabat Jim, Epsa, dia masih heran dan penasaran akan hal sebenarnya dibalik kematian Jim. Begitu pula dengan adiknya, Ferdi, lambat laun seiring bertumbuh besar dirinya, dia menjadi kian mengerti, dan akhirnya merasakan akan adanya keganjalan dari kematian kakaknya. Akhir-akhir ini Ferdi juga merasakan ada sesuatu yang aneh.
Enam bulan setelah kematian Jim, ibunya memutuskan untuk pindah dari rumah itu ke rumah seorang kakak laki-lakinya, yang tidak lain adalah paman Jim dan Ferdi, yang berada di kelurahan Pangkalan Kasai yang tidak jauh dari rumah asalnya dan merupakan daerah dengan kepadatan yang paling ramai di kota Seberida. Hal ini dikarenakan ibu Jim merasa khawatir akan perkembangan anak terakhirnya, jika ia harus merawat seorang anak yang menjadi harapan terakhirnya seorang diri, sedangkan ia sendiri sudah berumur lanjut usia dan tidak tahu kapan ajal akan menjemputnya. Untuk itu, ibu Ferdi membawa Ferdi ke rumah pamannya, yang di sana terdapat beberapa sanak saudara dan sepupu-sepupunya, yang dapat menjadi pelipur lara bagi kesedihan Ferdi yang telah ditinggal kakaknya.
Beberapa bulan setelah kepindahan Ferdi dan ibunya, Ferdi semakin dekat dengan sahabat kakaknya, Epsa. Ferdi sendiri terkadang merasa heran dan tak enak diri karena ia banyak mendapatkan bantuan dari Epsa. Terlebih rumah pamannya yang ia tinggali hanya berjarak beberapa meter dari rumah Epsa. Sehingga Ferdi sering dibantu dan mengobrol banyak hal pada Epsa. Kini, mereka berdua menjalin persahabatan yang erat. Bahkan, mereka lebih mirip seperti adik-kakak.
*****

Akhir-akhir ini, Ferdi merasa ada sesuatu hal yang mengganjal di hatinya. Di hari minggunya, entah mengapa timbul di benak Ferdi sebuah perasaan ingin mengunjungi bekas rumahnya yang telah lama tak dihuni. Dan ia pun memutuskan untuk berangkat pagi itu juga.
Di tengah perjalanan, Ferdi berpapasan dengan Epsa, kemudian mereka berbincang sejenak. Epsa mengerti apa yang dirasakan Ferdi saat percakapan itu, dan menawarkan diri untuk ikut serta menemaninya melihat kondisi rumah lama Ferdi.
Kini, rumah itu telah tampak usang dan tak terawat. Gumpalan debu dan jejeran jaring laba-laba yang tampak menyelimuti dinding-dinding rumah menambah kesan rumah tua yang telah lama ditinggalkan. Derup dua langkah kaki terdengar mendekati rumah usang itu. Dari luar jendela, Ferdi mengusap kaca jendela dan melongokkan matanya untuk melihat kondisi di dalam rumah. Epsa lekas memegang gagang pintu hendak membuka pintu. Gagang yang berkarat dan sulit untuk digerakkan, memaksa Epsa mendobrak pintu. Epsa mendahului masuk diiringi dengan Ferdi. Mereka berdua memainkan matanya mengitari ruas-ruas bangunan.
Tanpa pikir panjang, Ferdi segera memasuki bangunan tua itu. Entah, ia sendiri tak tahu apa tujuannya datang ke rumah kenangannya itu. Ia hanya melihat dan melihat. Tetapi tak juga mengerti. Namun, sebuah ruangan yang tak lebih bagus dari kondisi ruangan lain di rumah itu menarik khayal ambang pikirnya. Ia memerhatikan ruangan itu dengan seksama. Perlahan, langkah kakinya membawa dirinya ke pintu ruangan. Ia memerhatikan sebuah tempat kosong yang dulunya pernah terdapat tempat tidur yang ia kenal. Ya, dulu pernah ada sebuah tempat tidur yang mana kakaknya menghembuskan nafas terakhirnya di atas tempat tidur itu. Ya, ia ingat betul, bagaimana suasana panik ibunya yang tak terbendung ketika kakaknya tak juga sadarkan diri setelah kian lama dicoba untuk dibangunkan. Namun, kini, ruangan itu hanya berupa ruangan kosong. Tak ada lagi tempat tidur, tak ada lagi lemari dan juga meja, serta beberapa perabotan lain yang pernah digunakan kakaknya.
Kini, ruangan itu hanya berisi kayu-kayu tak guna dan beberapa tumpukan kerdus serta barang tak berguna lainnya. Ferdi memeriksa kayu dan kerdus yang ada di sana. Tak ada apapun yang ia temukan, bahkan ia tak mengerti mencari apa, kecuali ia melihat suatu coretan aneh yang ia tak mengerti di balik timbunan kayu. Seingatnya dulu, tempat itu adalah bekas lemari kakaknya. Di sisinya, ia melihat sebuah pecahan cermin bersandar pada tembok. Ia dapat melihat dan mengetahui bahwa Epsa sedang memerhatikan dirinya di depan pintu ruangan. Ferdi menatap lurus ke pecahan cermin itu. Tiba-tiba.... Ia terkejut melihat ada sebuah kristal biru gelap yang dikelilingi ukiran batu di dalam bayangan pecahan cermin itu yang tampak seperti di belakangnya. Refleks saja, Ferdi lekas berbalik dan mencari dimanakah asal keberadaan kristal yang ia lihat di dalam cermin itu.
”Ada apa?” tanya Epsa heran. Tetapi Ferdi tak menjawab. Matanya masih menyusuri lantai ruangan, mencari di mana posisi kristal yang ia lihat di dalam cermin. Tetapi ia tak menemukannya. Ferdi lekas berbalik lagi, melihat ke dalam cermin itu sekali lagi. Tetapi kali ini ia tak melihat ada kristal yang ia lihat sebelumnya.
”Ah, tidak ada apa-apa.” jawab Ferdi kemudian. Sebenarnya ia masih heran dengan apa yang dilihatnya. Tetapi kemudian, ia berpikir bahwa itu hanya firasatnya saja. ”Ah, baiklah, sebaiknya kita kembali saja sekarang. Tak ada yang bisa kita lakukan di sini.”
”Baiklah.” jawab Epsa.
Mereka berdua kembali melewati pintu rumah yang telah rusak itu. Perlahan, mereka berdua berjalan beriringan. Tetapi tiba-tiba Ferdi membalikkan tubuhnya.
”Ada apa lagi?” lekas tanya Epsa.
”Sepertinya aku melihat...” Ferdi terdiam sejenak, kemudian ia meneruskan perkataannya di dalam hati, ’ada sesosok bayangan’, tetapi ia berpikir bahwa itu hanya firasatnya saja. ”Ah, bukan apa-apa.” ucap Ferdi pada Epsa.
*****

Sebenarnya, beberapa menit sebelum itu, di pusat kota Eltern, kota pusat di dunia Liteirin, tujuh sosok pria berpakaian seragam gelap khas milik para anggota Gunryou, terdiam di depan sebuah reruntuhan gedung utama yang disebut sebagai Cyber-Gate. Lima diantara mereka berada di luar reruntuhan untuk memastikan tidak ada yang mendekati tempat mereka berada. Sedangkan dua yang lain tepat berada di dalam reruntuhan Cyber-Gate.
”Ah, akhirnya aku akan bisa melewati gerbang dimensi dan melihat dunia yang lainnya.” Salah seorang diantara dua orang di dalam Cyber-Gate berkata.
”Baiklah, segera anda lakukan.” Seorang yang lain lekas menyahut.
”Baik, baik! Kalian semua juga akan ikut, bukan?”
”Tentu tidak.” jawab salah seorang yang lain tadi.
”Ha? Kenapa?”
”Karena hanya orang tertentu yang dapat melewati gerbang dimensi. Dan kau adalah anak dan juga adik dari orang yang pernah memimpin Gunryou. Kau adalah keturunan terhormat Arin, Knight?”
”Memangnya kenapa dengan itu, Stealth?”
”Yah, kau tahu bukan keturunan Arin memiliki kemampuan khusus. Kau pasti bisa melewati gerbang dimensi yang tak bisa dilewati oleh sembarangan orang.”
”Tunggu! Jangan bilang kalau tugas ini dibebankan oleh aku seorang diri?”
”Tentu... tentu tidak. Memang gerbang dimensi ini tak bisa dilewati sembarangan orang. Bahkan kelima seven-warrior lain di belakang kita tak bisa melewatinya. Tetapi aku akan turut serta mendampingi misimu kali ini. Karena aku adalah salah seorang yang mampu melewati gerbang dimensi ini.”
”Owh...”
”Baiklah, segera anda lakukan.”
Salah seorang yang dipanggil Knight tadi segera membentangkan tangan kirinya ke depan, tepat di antara dua buah pilar besar yang berdiri kokoh di dalam reruntuhan. Tiba-tiba cahaya terang muncul. Cahaya itu bagai berputar di depan telapak tangan Knight. Tetapi, tiba-tiba cahaya memercik dan mementalkan Knight ke belakang.
”Baiklah. Tak apa. Anda hanya kurang konsentrasi saja. Sekarang fokuskan diri anda.” ucap Stealth menasehati.
”Oke... oke...” jawab Knight santai. Kini Knight mencoba kembali. Cahaya berpendar kembali di depan telapak tangan Knight yang kemudian cahaya itu segera menyebar ke arah dua pilar itu. Dan...



INFO:
Attention!
Bagi yang belum membaca seri sebelumnya...
silahkan berkunjung ke sini..

2 Blogger-Comments
Tweets
FB-Comments

2 comments:

  1. J ayo bukukan cerita-cerita blog mu..
    bagus-bagus... :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. janga dulu, No..
      masih kurang pede aku...

      Delete

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^