“Ah, kau ini, Luth! Bisa-bisa saja.” Ucap Handoko padaku di tengah canda tawa kami berlima. Telah sejak tadi pagi ini kami berlima berkumpul bersama di rumah Rifky untuk menghabiskan waktu liburan penantian hasil UNAS kami. Banyak hal yang dapat kami lakukan bersama setelah melewati masa-masa ketegangan itu. Seminggu ini kami telah berlagak sibuk untuk melakukan berbagai kegiatan demi mengisi waktu luang yang membosankan selama masa harap-harap cemas ini. Tetapi hari ini, tidak ada tempat tujuan ataupun kegiatan yang terpikirkan oleh kami, hingga pada akhirnya kami pun memutuskan untuk mengunjungi rumah sahabat kami yang luas ini.
Saat itu kami sedang duduk bersantai di halaman belakang rumah yang luas dengan ditemani buah-buahan dan minuman segar. Tetapi tiba-tiba, Handoko yang sejak tadi bercanda tawa santai, tiba-tiba saja memasang wajah yang tampak serius menghadapku. Jelas saja ku terkejut melihatnya. Kemudian, tiba-tiba sebuah kalimat terucap dari mulut, “Kau serius nih, Luth?”
“Hah?” hanya sepatah kata itu yang mampu terucap dari mulutku di tengah kebingunganku yang tak mengerti dengan apa yang ia bicarakan.
“AH.. yang dulu itu loh.”
“Apa sih?” ucapku semakin bingung.
“Aduh, Luth. Kami loh sebenarnya masih penasaran.” Ucap Handoko kembali diikuti dengan gelagat aneh dan penasaran oleh ketiga sahabatku yang lain.
“Eh, sebenarnya benaran ada apa ini? Enggak ngerti deh.” Ucapku semakin heran.
“Ah, lama kalian ini.” Arif segera memotong pembicaraan dengan tak sabaran.
“Gini loh, Luth.” Ucap Handoko berusaha menjelaskan. “Dahulu kan kami pernah memberi masukan pada kamu ini untuk segera mengungkapkan perasaanmu pada si Diah itu loh, eh setelah itu kamu bisa-bisanya berlalu pergi dengan memasang tampang sok cool begitu. Kami kira saja dahulu itu kamu itu… yah begitulah… Eh, ternyata… usut punya usut, kamu biarkan saja berpisah dengan Diah itu tanpa dia tahu bagaimana perasaanmu itu. Kamu benaran tidak menyesal nih. Sebentar lagi kita kan berpisah, tinggal menantikan hasil saja, setelah itu… yah tidak tahu bagaimana deh. Ya sih, memang benar, seperti yang pernah kamu katakan dahulu, jodoh ada di tangan Tuhan, tetapi kamu benaran mau meninggalkannya begitu saja tanpa dia tahu bagaimana perasaanmu itu?”
“Ya, Luth. Setidaknya katakan saja, bukan? Masalah jadian atau enggak, itu sih bisa dipikir belakangan, kan? Yang penting dia kan tahu.” Rifky pun ikut memberi masukan.
Aku yang mendengar hal itu hanya mampu tersenyum menatap mereka. Kemudian, tanpa sabaran Rifky segera bertanya kembali, “Jadi bagaimana? Atau.. yah pemikiranmu?”
Aku yang sejak tadi telah bercanda tawa bersama keempat sahabatku itu, kini juga harus ikut memasang mimik serius. Dengan sebuah senyuman ke arah sahabat-sahabatku itu, ku memandangi mereka satu per satu, kemudian ku mengarahkan pandanganku itu pada langit sore saat itu. Keempat sahabatku itu terlihat menantikan jawabanku dengan sangat antusias, namun aku hanya menjawabnya dengan telunjukkan jari pada Sang Mentari sore saat itu. Dan aku pun mampu mambaca wajah bingung mereka dengan jawaban itu. Aku ingat sekali bagaimana wajah mereka itu.
>>>#####<<<
Ya, aku masih ingat dengan kejadian saat itu. Entah mengapa aku masih mampu mengingat kenangan masa remajaku itu dengan sangat baik. Kejadian sepuluh tahun yang telah berlalu itu… tersimpan baik dalam benakku. Padahal sudah lama sekali aku tidak bertemu mereka, semenjak ku pergi ke daerah perantauan ini. Bahkan hingga saat ini, masih terpikirkan olehku, apakah mereka mengerti dengan maksud jawabanku itu, aku tidak tahu, karena setelah memberi jawaban singkat penuh makna itu, ku bergegas bangkit untuk kembali pulang di tengah wajah keheranan mereka. Setelah itu, mereka tidak membahas hal itu lagi, sehingga aku juga tidak tahu mereka mengerti atau tidak. Dan hingga sampai saat ini aku masih belum bertemu kembali dan mendapat respon dari mereka. Apakah mereka mengerti atau tidak? Mengertikah mereka? Mengertikah kalian?
Kotak Obrolan
0 comments:
Post a Comment
Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^