Sunday, 1 July 2012 - , , 0 comments

CINTA DI UJUNG PEDANG


Sebuah pedang berciri khas ukiran naga perak tergeletak di sana, di dalam medan pertempuran membara antara kerajaan besar dengan kaum pemberontak. Tampak seorang pemuda berlari mendekati pedang itu, kemudian segera melompat untuk meraihnya. Namun, seorang pria bertubuh besar mengejar di belakangnya dan segera menebaskan sebuah kapak tepat saat pemuda itu telah menggenggam gagang pedang yang tergeletak dan berbalik.
Pria bertubuh besar terhunus oleh pedang dan roboh ke depan hendak menjatuhi seorang pemuda, yang lekas menendangkan kakinya ke wajah pria itu dan memelantingkannya. Dan pertempuran kembali berlangsung dengan sengitnya. Namun, kian lama pertempuran kian jelas, telah terenggut alih oleh pemuda itu dan pasukannya. Dan mereka kembali membawa sebuah kemenangan besar.
*****


Kemenangan nun jauh beribu tahun silam, tersebutlah dalam genggaman sebuah kerajaan bernama Elkazer, sebuah kerajaan besar yang paling berpengaruh pada masa kejayaannya saat itu. Yang dipimpin oleh seorang raja bernama Abra. Sebuah kerajaan besar yang disebut-disebut mempunyai kekuatan daya tempur tiada tertandingi dan belum pernah mengalami kekalahan, di bawah pimpinan panglima perang yang masih muda, namun dengan bakat bertarung alami yang diakui tiada terkalahkan. Pemuda yang telah menjadi panglima ini dikenal dengan sebutan Kapten Salazar.
Kapten Salazar yang tangguh dikenal sebagai sosok tak banyak bicara dan tunduk dalam pengabdian penuh kepada kerajaan. Ia yang tergolong masih muda untuk menjadi panglima, begitu dihormati oleh beragam kalangan. Kebijakannya, kecerdikannya, keahliannya, kepatuhannya, dan pengabdiannya, diakui tiada akan pernah pudar dalam dirinya. Namun, di balik semua itu, jauh di dasar lubuk hatinya, jauh di dalam diri yang tiada jua diketahui lautan angkasa, sungguh telah jatuh cinta ia pada putri raja. Putri dari raja kerajaan Elkazer yang begitu elok rupawannya. Bernama Clara rupanya.
Besit rupa mampu membohongi, namun dalam hati tetap tiada terpungkiri. Batin diri Kapten bergejolak, ketika ia termenung sendiri di malam sepi di ruangannya, memikirkan tentang dia. “Telahkah ku jatuh cinta? Pada putri seorang raja yang elok rupanya? Tidak, itu tidak boleh terjadi. Derajat kami sungguh berbeda. Dia darah murni seseorang bertahta agung. Sedang ku hanya rakyat jelata yang terangkat karena kemampuan diri untuk mengabdi penuh kepada kerajaan. Seharusnya ku sadari itu.” Dalam batin Sang Kapten
Rupanya langkah kaki berderum keras di malam yang sunyi di depan pintu istana. “Siapakah ia? Yang berkeliaran di malam sepi?” Batin Kapten bertanya sendiri.
Penasaran rupanya Sang Kapten, berusaha mengintip keluar ruang. Sebuah alunan merdu berkicau di halaman istana yang sepi. Mengintiplah ia ke sana. Sosok jelita Clara tampaklah rupanya. Menyanyikan alunan merdu lagu kesepian. Hingga menyadari seseorang telah tiba. Terkejutlah ia.
“Tunduk hamba pada paduka. Maafkanlah hamba jika mengejutkan.” Ujar Sang Kapten dalam kesopanan. “Tiada maksud hamba untuk hal itu. Hanya hamba berrtanya heran. Apakah gerangan tuan putri di sini dalam larut malam sunyi?”
“Tiada maksud apa dalam kesunyian ini. Hanya menatap bintang bertabur indah dalam sepi. Untuk menghibur diri dalam kesepian diri.” Jawab Sang Putri segera tiada maksud.
“Tiadakah putri kembali. Paduka akan mencari. Ke manakah putri pergi.”
“Ku telah dewasa. Ku sangat ingin ayahanda mengerti, hanya mencari angin segar tiada jua kan terluka. Tiada Jauh. Hanya tiada ingin terpenjara di istana sendiri.”
Esok harinya, di pagi yang cerah merona, tiada angin,  tiada badai, Sang Baginda Raja mengutus Kapten Salazar ke hadapannya. Raja berkata, “Seberapa patuhkah engkau?”
“Dalam segenap darah dan jiwa hamba patuh.”
“Putriku ingin sangat menghirup indahnya udara pagi di taman bunga di pegunungan seberang. Ku ingin engkau menjaga dalam rasa tulus hati. Janganlah engkau bawa kembali dalam keadaan setetes luka jua. Ia satu-satunya putri mahkotaku, yang sangat berarti dalam setiap nafas hidupku. Ku takut untuk kehilangan hal berarti, namun ku jua takut tiada mampu membahagiakannya. Ku percayakan pada dirimu.”
“Dalam segenap rasa hormat hamba pada baginda.”
Hingga mencapai taman pegunungan yang tersebutlah, wajah riang Sang Putri terpancar. Sang Kapten tiada dapat berkata apa, hanya sebuah senyuman simpul.
Tiada arah disangka, sesosok anak panah melesat jauh ke arah Putri Clara. Ketangkasan Kapten Salazar bertempur, menyadarkan ia bahaya mendekat. Melompatlah ia ke arah putri, menjauhkan paduka putrinya dari bahaya, walau luka ia dapati. Sebuah anak panah meleset menancap pohon, tuan putri jua jatuh dalam pelukannya. Dalam sesaat, Kapten menatap Tuan Putri dalam kehangatan. Pancaran rona kelembutan membuai Kapten untuk semakin jatuh cinta. Tak mungkin. Batinnya segera tersadar.
“Maafkan hamba kepada Tuan Putri. Tiada maksud hamba mencelakai.” Kapten Salazar segera membantu Tuan Putri berdiri dan melepaskannya. Segera menatap lurus ia ke arah anak panah yang tertancap dan mengambillah segera. Terkejut ia bukan main, secarik kertas ancaman tergulung di sana, berisi dari kaum pemberontak seberang yang pernah ia taklukan sebelumnya. Segeralah ia berkata, “Alangkah baiknya Tuan Putri kembali ke istana, bahaya akan datang dari mana saja tanpa hamba ketahui.”
“Hanya bernafas sebentarlah diriku, kini jua harus kembali.”
Sementara itu, di Istana jua memperoleh secarik ultimatum. Namun, bukanlah yang sama, jauh berbeda yang ini. Berisilah tentang pemberontakan besar untuk menaklukkan istana, jikalau baginda raja tiada menuruti perjanjian damai dengan menikahkan Putri Raja kepada pimpinan pemberontak, yang bernama ia Bartra. Sang raja hanya tersenyum sinis membacanya, sembari ia berkata, “Tiada mungkin. Kaum pemberontak hanya berlaku tiada hasil. Masih adalah Salazar di pihak kita. Alangkah bodohnya mereka.”
Di pagi buta esoknya, Kapten Salazar telah berkemas meninggalkan istana. Tiada yang tahu menahu akan kepergiannya. Ia lenyap begitu saja. Untuk memenuhi secarik kertas yang ia dapat. Berisi surat tantangan dari Bartra untuk bertarung satu lawan satu tanpa perantara, tanpa pelacak, jikalau ia tiada memenuhinya, pastilah akan disengsarakan hidup Tuan Putri. Datanglah Salazar ke dasar lembah dua naga, seperti janji yang tertera. Tiada ingin Putri Clara dalam ancaman, memenuhi jua ia pada secarik kertas, menuju datang seorang diri, tanpa menyadari akan bahaya menanti. Lembah di kaki pegunungan yang memisahkan dua negeri berbeda itu, telah menanti sebuah keingkaran janji dalam mara bahaya Salazar.
Salazar menanti kehadiran Bartra, namun tiada jua ia kunjungi batang hidungnya. Rupanya, Bartra dan pasukannya tengah bersembunyi di puncak lembah untuk menjalankan tipu daya. Tanpa Salazar duga, tanpa ia sadari, bebatuan kaki pegunungan runtuh dengan hebatnya. Longsor yang disengaja kedatangan telah menantinya. Segeralah ia memacu kuda pada dasar lembah itu, untuk menghindari akan datangnya kejatuhan bebatuan. Namun tiada ia sangka, tak terelakkan pula tetimbunan bebatuan memenuhinya.
Tampak pula Bartra dan pasukannya menunjukkan diri di puncak lembah. Ia tertawa membahana akan kemenangan yang menanti, beucaplah ia, “Kemenangan sudah menanti, penghalang terbesar telah tersingkirkan. Saatnya kita menuju kemenangan.” Sorak semangat pasukannya memenuhi lembah. Tatapan amarah dan kebencian tampaklah dari raut mereka.  Bartra menatap timbunan bebatuan di dasar, tampak kilauan cerah di sana. Tersenyum sinislah ia, sembari memacu kuda menuruni lembah.
Sebuah pedang berkilau perak dengan ukiran naga di bilahnya tergeletak di atas timbunan bebatuan di dasar lembah. Sebuah pedang berciri khas milik Salazar tampaklah di sana. Ia semakin senang melihatnya, kemenangan benar-benar mutlak baginya. Bartra segera memungut pedang itu dan pergilah bersama pasukannya menuju istana.
Di depan gerbang benteng besar Elkazer, tibalah kaum pemberontak. Di dalam istananya, ricuh porak poranda terdengarlah. Raja tampak khawatir seakan tiada percaya karena berucaplah salah seorang prajurit, “Kapten Salazar tiada di manapun. Kami tiada menemukannya di seluruh pelosok istana. Entah ke manakah ia.” Dan berucaplah raja pada prajurit, “ Oh, ke manakah ia saat penting genting begini. Menghilang tanpa kabar dan jejak. Teganyalah ia.”
Sementara kaum pemberontak terus menyerbu masuk gerbang istana, raja akhirnya memutuskan pula untuk prajurit segera bersiaga tanpa Sang Panglima perang. Prajurit jua berbaris membentuk deretan perang, melakukan serangan mempertahankan istana di depan sana. Namun, apa daya, tanpa kontrol dan strategi yang memadai. Tumbanglah mereka satu persatu, seakan pertarungan tiada terimbangi. Kaum pemberontak jua menyerbu masuk, menyeranglah mereka dengan bengisnya, tiada ampun.
Sampai jua Bartra di hadapannya raja, tertawa membahana karena kemenangan. Ia tunjukkan kepada raja sebuah pedang yang ia gunakan untuk bertarung. Serasa raja mengenal dekat akan pedang itu. Berucaplah raja,  “Mana mungkin. Tiada mungkin pedang itu berada di tanganmu. Aku tahu betul milik siapakah pedang itu. Hanya pedang khas milik Salazar yang berukir kilauan seperti itu. Apakah artinya ini?” Bartra kembali tertawa seraya berkata, “Mengertilah Salazar akan penaklukan ini. Ia hanya orang pandai bertarung yang mengerti kapan pertempuran mampu ia kuasai dan kapan saatnya harus lari menyelamatkan diri.”
Bartra berkali-kali tertawa dan tersenyum sinis, sementara berucaplah raja, “Oh, Gusti, mana mungkin, apakah salah diri ini. Berkhianat jua Salazar itu.” Bartra kemudian menghunuskan pedangnya ke arah raja sembari berucap, “Akulah yang berkuasa kini. Aku akan menjadi sang penguasa kerajaan SELAMANYA.”
*****

Selang sepuluh tahun selanjutnya, sebuah daerah yang dahulu pernah menjadi tempat bagi kerajaan terkuat dalam strategi perang yang tiada tertandingi, hanya menjadi bongkahan puing-puing tiada guna. Debu-debu pasir perlahan-lahan menutupi kawasan itu, bagai tiada pernah ada tanda kehidupan sebelumnya. Jejak-jejak para pengembara berlalu-lalang melewati timbunan pasir di atas puing-puing, sama sekali tiada mengerti akan apa yang mereka lewati.
Terlupakan. Pada generasi-generasi selanjutnya, akhirnya kerajaan besar itu terlupakan. Tiada yang tahu akan keberadaannya dan tiada tahu-menahu tentang apa yang pernah terjadi di dalamnya. Pada akhirnya, semuanya akan berakhir.


Kotak Curhat


Cerita ini hanya fiktif belaka, dan sama sekali tak ada kaitannya dengan sejarah atau apapun itu. Dan juga sama sekali tidak merujuk pada sebuah buku atau cerita apapun.
Jika ada kesamaan nama atau sebagainya, itu hanya ketidaksengajaan saya, karena namanya itu hanya ngasal. Jadi, mohon maaf sebelumnya.
Dan yang terakhir, jika ada yang merasa kebingungan dengan ceritanya, saya hanya bisa ketawa, khakhakha.... EMANK...!!! Informasi lebih lanjut, hubungi dokter >,< Maksudnya tanya aja di kotak komen...

0 comments:

Post a Comment

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^