Monday, 2 July 2012 - , 2 comments

BERCERITA PADA MAUT

Ketika cinta telah menghampiri, memang semua terasa begitu indah. Saat pertama bertemu, hanya keindahan semata yang terlihat, keindahan pada pertemuan pertama. Dan pertemuan pertama kami adalah pertemuan yang lebih dari indah. Dia yang begitu sempurna di mataku, membuat pertemuan itu menjadi pertemuan yang terindah dalam hidupku, pertemuan tak terlupakan, dan merupakan pertemuan yang tak disangka-sangka. Dan akankah perpisahan kami menjadi suatu perpisahan tak terlupakan yang tak disangka pula?
Mungkin iya…
Takkan ku lupakan.
Tak disangka.
Tak disangka kini ia tergolek lemah di atas sebuah kasur lembut.
*****



Senin sore ini, seperti biasa, aku masih berada di kantor, dan aku yakin saat itu dia pasti sudah pulang atau setidaknya sudah dalam perjalanan pulang dari kantor tempat kerjanya. Sementara, aku di sini, masih berada di kantor yang berbeda dengannya. Rasa bosan dan jenuh selama di kantorku semakin menaungi diri ini menuju titik yang tak tertahankan bagiku. Ah, rasanya ingin menelepon dirinya untuk menghilangkan rasa tak menyenangkan ini. Entah hanya untuk bercanda bersama atau mencapai perbincangan yang lebih serius. Ya, perbincangan tentang pernikahan kami, yang akan berlangsung lima hari ke depan. Menunggu saat-saat seperti itu terasa sungguh lama sekali bagiku. Jadi, ku putuskan saja untuk meneleponnya, setidaknya untuk menghilangkan rasa rindu ini.
Sepuluh menit berlangsung, telah berkali-kali aku mencoba untuk menghubunginya, tetapi tak juga dirinya mengangkat telepon dariku untuk sekedar mengucapkan “halo”. Akhirnya, setelah bersusah payah ku menghubunginya, dia mengangkat juga telepon dariku. Namun, hanya sepatah kalimat yang terdengar dari HandPhone milikku, “Maaf sayang, aku lagi di jalan nih, nanti ku hubungi lagi deh.”
Hanya sepatah kalimat itu saja sudah membuat pikiranku melayang entah ke mana. Dalam anganku, aku membayangkan kini ia sedang duduk berkendara di atas sepeda motor berwarna pink miliknya yang terlihat begitu cantik, tetapi tetap, tak secantik pengemudinya. Bayanganku melayang, seakan senyuman indahnya menghampiri diriku. Oh, betapa indahnya membayangkannya. Dan sebentar lagi, pasti kami akan menjadi pasangan suci yang akan begitu bahagianya.
Ah, aku tak sabar lagi, tak bisa menahan rasa rindu dalam hati ini. Ku putuskan saja untuk mengiriminya sebuah pesan singkat ke HandPhone miliknya. Jika hanya sekedar SMS, ku kira itu tak akan menjadi masalah.
Sebuah SMS rinduku telah ku kirim, kini ku hanya bisa menunggu beberapa menit yang terasa begitu lamanya. Beberapa menit ku menunggu sembari menyelesaikan tugas kantorku, akhirnya HandPhone milikku bergetar. Secepat kilat pun tanganku menyambar sebuah HandPhone yang tergeletak di meja kantorku. Ku menerima SMS darinya. Entah mengapa sebuah senyum mengambang  di wajahku. Betapa senangnya, padahal hanya menerima sebuah pesan singkat darinya. Ku membalas pesannya. Dan kami pun saling berkirim-kirim pesan singkat sebanyak tiga atau empat kali.
Hingga ku mengirimkan SMS-ku yang kelima kalinya, dengan senyuman yang menjuntai di wajahku. Tetapi kali ini, ia tak jua membalas SMS dariku. Benakku mengambang, apa yang terjadi? Sejam telah berlalu, tetapi aku tak juga menerima balasan darinya. Dalam batinku yang baik, ku berpikir, mungkin dia sekarang sudah sampai di rumahnya, dan sekarang sedang sibuk membersihkan diri atau apapun itu, entah menyiapkan makanan atau melakukan pekerjaan rumah lainnya. Tentu saja, ia adalah gadis pintar, baik, dan juga rajin serta tangkas dalam melakukan berbagai pekerjaan. Oh, betapa senangnya pria yang bisa memiliki gadis idaman seperti dirinya, batinku pun bergejolak bahagia. Ku putuskan saja untuk tidak menanyakan kabarnya lagi sekarang ini, dia pasti sedang repot sekarang, lagipula, sebentar lagi aku akan pulang, dan aku akan mengunjunginya lebih dulu untuk melepaskan rasa rindu. Ya, sebentar lagi, aku akan bertemu kembali dengan dirinya.
Ya, bertemu kembali, bertemu kembali dengannya. Tetapi bukan pertemuan yang seperti itu. Bukan pertemuan yang tak pernah ku sangka akan kehadirannya itu. Bukan, bukan seperti itu yang ku inginkan.
Ya, karena malam ini, malam ketika aku sudah bersiap pulang kerja dari kantorku, HandPhone di saku celanaku berdering. Aku segera mengambilnya dan melihat sebuah panggilan dari HandPhone miliknya. Awalnya, ku merasa senang, karena akhirnya dia menghubungiku juga. Itu artinya, dia sudah berada di rumah dalam keadaan baik-baik saja. Dan seperti janjinya, dia akan menghubungiku.
Tetapi, semua tidak seperti yang ku harapkan, ketika aku mengangkat panggilan yang masuk dengan senyuman menebar, hendak ku mengatakan sesuatu, tetapi dengan cepat sebuah suara terdengar dari balik HandPhone milikku, mengatakan sesuatu dengan tergesa dan nada yang tak menyenangkan. Aku jelas kenal suara itu, tetapi itu jelas bukan suara miliknya.
“Nak, Aldo, maaf jika kami mendadak menghubungi, tetapi ini keadaannya darurat. Rina, Rina, …” Sebuah suara dari balik HandPhone terdengar tak mampu melanjutkan ucapannya dengan nada kesedihan yang sangat tak tertahankan. Itu suara ibu Rina, mertuaku. Ada apa? Ada apa sebenarnya? Batinku bergejolak. Nada suaranya menandakan mimik wajahnya yang merasa sedih dan takut seakan tak percaya.
“Ya?” jawabku tak sabaran menunggu lanjutan perkataannya.
Tiba-tiba, suara dari balik HandPhone berganti dengan suara ayah Rina yang terdengar tergesa, “Maaf, nak Aldo, Rina mengalami kecelakaan. Tadi sore, sehabis pulang dari kantornya. Sekarang kami berada di dalam rumah sakit …” belum sampai ucapan ayah Rina selesai, HandPhone milikku melayang terjatuh dari genggamanku. Seakan-akan sebuah ledakan dahsyat menerpa jantungku. Ku seakan tak percaya dengan apa yang ku dengar. Bohong, itu pasti bohong. Tak mungkin. Kenapa hal seperti ini bisa terjadi? Di saat seperti ini? Saat kami akan menjalin ikatan suci? Tiba-tiba saja pikiranku melayang entah ke mana. Anganku yang semula sangat bahagia tak terdefinisikan, tiba-tiba berubah menjadi suram.
Ku berusaha menyadarkan diriku dari ketenggelaman di dalam lautan luapan ketakutan. Ku memungut kembali HandPhone milikku dan berusaha untuk meyakinkan diri dengan apa yang barusan ku dengar. Ayah Rina mengulang kembali perkataannya. Tanpa membuang waktu lagi, aku segera berlari ke area parkir dan memacu dengan kencang sepeda motor milikku ke arah rumah sakit yang dimaksud.
*****

Kini, di larut malam ini, ku hanya dapat memegang telapak tangan kanannya yang lembut dalam keadaannya yang terkulai lemas di atas kelembutan kasur rumah sakit itu. Ku terduduk di atas kedua lututku di samping tempat ia terbaring. Ku membelai lembut lengannya, seakan masih belum percaya dengan apa yang menimpanya.
Detik dalam detik, tak ku sadari tetesan air mata mengalir di wajahku. Namun, dalam waktu ku menunggu, tangannya mulai bergerak perlahan di dalam genggaman lembutku. Aku segera berdiri dan menatapnya. Perlahan, ia membuka matanya perlahan. Ia segera menatapku dengan indahnya. Sebuah tatapannya memancarkan senyuman yang begitu indah yang tak mampu ku lukiskan dalam ucapan. Ku segera mencium lengan tangannya dan berkata, “Bersabarlah, semuanya akan baik-baik saja. Kita akan hidup bahagia. Ku mohon, bersabarlah, kuatkan dirimu, jangan tinggalkan aku.” Tetesan air mataku membanjiri wajahku. Aku tak sanggup untuk menahannya. Aku menatap lurus ke wajahnya. Sedikit tetesan air mata mulai mengalir di wajahnya, dengan tetap menebarkan senyuman indahnya.
Tetapi tiba-tiba, tangannya perlahan meluncur dari dalam genggamanku dan terjatuh perlahan di atas kasur yang lembut. Dan matanya kembali terpejam dari dalam tatapanku. Tak kuasa ku melihatnya, aku segera berteriak histeris dan memanggil-manggil dokter dengan nada suaraku yang tak karuan.
Kemudian, pintu ruang kamar itu terbuka, seorang dokter yang diiringi beberapa perawat meluncur memasuki ruangan itu. Salah seorang perawat menyuruhku untuk menunggu di luar ruangan. Aku yang terdiam kaku ketakutan, hanya mampu mengikuti arahan dari perawat itu. Aku bergegas melangkah keluar ruangan. Ku melihat orang tua Rina beserta beberapa sanak-saudara terduduk lesu, lemas, sedih di depan ruangan. Orang tua Rina segera melangkah mendekatiku. Wajah sedih mereka tergambar jelas di angan pikiranku.
Beberapa menit berlalu, menit-menit yang penuh ketegangan dan kesedihan melanda diriku seakan waktu bergerak semakin melamban. Seorang dokter keluar ruangan, kami hanya mampu berdo’a dan menantikan jawaban indah darinya. Tetapi, lagi-lagi keadaan tidak berpihak pada kami. Dokter itu hanya menggelengkan kepalanya dan berkata, “Kami sudah mengusahakan yang terbaik, tetapi Yang Maha Kuasa berkata lain.”
Ucapan dokter itu seakan menyesakkan dada siapapun yang mendengarkannya. Semua orang yang disitu segera meneteskan air mata mereka ke sekujur wajah. Begitu pula denganku, yang segera berlari memasuki ruangan dengan tatapan kesedihan yang melanda seluruh jiwa-ragaku
Ini semua salahku. Andai saja saat itu aku tidak memaksakan diriku, hanya karena kerinduanku yang sesaat. Maut. Kenapa engkau begitu tega mencabut nyawanya dari hadapanku. Semua ini adalah kesalahanku. Seharusnya nyawakulah yang engkau cabut, bukan dia.
Maut. Tak bisakah kau menundanya untukku.
Maut. Tak bisakah kau menciptakan keajaiban untukku.
Maut. Jikalau pun ia harus pergi, tolong cabut juga nyawaku ini. Ini semua karena kesalahanku. Andai saja…. Andai saja….
Maut. Tak bisakah ku menukarkan nyawaku demi kehidupannya. Seharusnya aku lah yang terbaring di sana, dan melihatnya bahagia dari alam nun jauh di sana.
Maut….
Yang Maha Pemilik Kehidupan…
Tolong sampaikan rasa cinta dan kasih sayangku padanya.
Dan izinkanlah untuk kami bertemu kembali dalam keindahan nikmatnya Surga-Mu suatu saat nanti. Suatu saat nanti…..

2 Blogger-Comments
Tweets
FB-Comments

2 comments:

  1. aaaa kenapa pas kali kaya cerita aku? :(
    salam kenal :)

    ReplyDelete
  2. owh...
    iyakah...
    benarkah...?
    sebuah ketidaksengajaan kalau begitu...

    dan maaf jika cerpen ini tidak sengaja menyinggung dan kalau boleh tahu....
    pas bagaimana yah...

    ReplyDelete

Pembaca yang baik akan selalu meninggalkan jejak... ^_^